Laman

Rabu, 07 Agustus 2013

PEMBAHASAN TENTANG MASALAH ZIKIR DALAM PANDANGAN SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN


PEMBAHASAN TENTANG MASALAH ZIKIR
DALAM PANDANGAN SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN
Oleh : Saifuddin, M.A

a. Pengertian Zikir
            Zikir merupakan salah satu unsure terpenting dalam ajaran Tarekat/Tasawuf. Di dalam bahasa Arab secara garis besar zikr memiliki dua makna yaitu menyebut dan mengingat. Yang menjadi permasalahan pertama adalah apabila kata zikir itu diberi makna dengan menyebut, maka apakah nama Allah itu dapat disebut ?, sedangkan nama Allah itu qadim (la harfun wa la sautun :tidak berhuruf dan tidak bersuara). Di dalam Al-Qur’an maupun Hadis secara tegas Allah memerintahkan kepada setiap mukmin agar senantiasa berzikir kepada Allah, baik di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring dan di mana saja berada. Apabila yang dimaksud  dengan zikir itu adalah menyebut, bagaimana cara mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari ?
            Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis terlebih dahulu akan menguraikan kalimat Allah yang merupakan asma-Nya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah memiliki sembilan puluh sembilan (99) nama sifat, yang mana kesemuanya itu tunduk kepada nama Zat yaitu Allah. Kalimat Allah terdiri dari empat huruf, yaitu alif, lam, lam, dan ha, yang kesemuanya itu masih dapat disebut karena berhuruf dan bersuara. Apabila dihilangkan huruf alif pada kalimat Allah, maka kalimat Allah itu masih dapat disebut sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 120 :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَتِ وَاْلأَرْضِ وَمَافِهِنَّ
Apabila huruf lam dihilangkan, maka nama Allah itu masih dapat disebut sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am ayat 13 :
وَلَهُ مَاسَكَنَ فِى الَّيْلِ وَالنَّهَارِ
Apabila huruf lam yang kedua dihilangkan, maka tinggallah huruf ha yang di dalam bahasa Arab dhamir (kata ganti) dari huruf ha adalah hua, sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am ayat 61:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
            Apabila huruf ha dihilangkan, maka asma Allah tidak dapat disebut lagi. Maka sampai disinilah batas kemampuan lisan menyebut asma Allah Ta’ala, karena sesungguhnya asma Allah Ta’ala itu adalah qadim, yaitu tidak berhuruf dan tidak bersuara. Oleh sebab itu segala sesuatu yang berkaitan dengan asma Allah yang dapat disebut dengan lisan, maka jatuh hukumnya kepada sifat memuji, sebab pekerjaan memuji adalah pekerjaan lisan, seperti tahmid, tahlil, takdis, dan takbir.
            Oleh sebab itu, zikir adalah pekerjaan qalbi dan bukan pekerjaan lisan, sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُواْ أُذْكُرُواْاللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.(Q.S. 33 al-Ahzab: 41-42).
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَوةَ فَاذْكُرُواْاللهَ قِيَمًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوْبِكُم.
Artinya : “Maka apabila kamu telah melaksanakan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring”. (Q.S. 4 an-Nisa: 103).
            Kedua ayat di atas secara tegas mewajibkan kepada setiap orang yang beriman untuk senantiasa berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring, dan di mana saja berada. Jadi berdasarkan kedua ayat di atas bahwa zikir bukanlah pekerjaan lisan, karena lisan sesungguhnya memiliki keterbatasan. Karena jika hendak melaksanakan perintah kedua ayat di atas, maka keringlah lisan kita dalam mengucap tahmid, tahlil, takdis, dan takbir. Apalagi pada saat kita bekerja dan berbicara, maka mustahil kita dapat mengingat Allah bila yang dimaksud dengan mengingat Allah itu adalah dengan mengucap tahmid, tahlil, takdis, dan takbir, sedangkan kita diperintahkan untuk mengingat Allah kapan saja, di mana saja, dan dalam segala keadaan, maka tentu mustahil lisan dapat melakukan itu.
            Yang menjadi permasalahan kedua adalah, apabila kata zikir itu diberi makna dengan mengingat, maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara mengingat Allah, sebab mengingat sesungguhnya adalah pekerjaan otak dan mustahil otak dapat mengingat sesuatu yang tidak pernah disaksikannya, sedangkan Allah itu adalah ghaib dan tidak dapat disaksikan oleh mata manusia. Lalu dapatkah otak manusia mengingat Allah yang tidak pernah dilihatnya?
            Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُواْ التَّقُواْاللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan mendekatkan diri kepada-Nya”. (Q.S. al-Maidah: 35).
            Menurut Syekh Muda Ahmad Arifin makna wasilah pada ayat di atas adalah keharusan mencari jalan untuk dapat mengenal Allah. Jadi agar kita dapat mengenal Allah kita harus mencari jalan atau wasilah (perantara) atau Guru yang dapat mengenalkan kita kepada Allah. Adapun fungsi Guru yaitu sebagai pemberi ilmu yang menyampaikan pengenalan kepada Allah. Setelah murid dapat mengenal Allah, maka murid dapat beribadah dan berhubungan langsung kepada Allah tanpa perantara siapapun. Jadi fungsi guru hanya sebatas perantara yang bertugas menyampaikan pengenalan kepada Allah tanpa perantara siapapun. Jadi fungsi Guru hanya sebatas perantara yang bertugas menyampaikan pengenalan kepada Allah dan bukan perantara di dalam beribadah. Oleh sebab itu jika manusia ingin beribadah dan berhubungan secara langsung kepada Allah, haruslah mencari wasilah (perantara) terlebih dahulu agar dapat mengenal-Nya. Karena sedemikian pentingnya peran Guru atau wasilah dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah sehingga Nabi menyuruh kita untuk menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi:
عن دود عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
            Jadi berdasarkan penjelasan ayat dan Hadis di atas dapatlah diketahui bahwa tanpa Guru (wasilah) mustahil manusia itu dapat mengenal Allah, apalagi dapat mengingat-Nya. Jadi sesungguhnya yang dapat berzikir kepada Allah hanyalah orang-orang yang telah berwasilah (menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah atau Guru).
            Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa makna zikir yang sesungguhnya adalah mengingat dan mustahil kita dapat mengingat Allah, tanpa terlebih dahulu kita menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah (berwasilah). Namun kenyataannya mayoritas umat Islam saat ini mengabaikan wasilah dan menganggapnya sebagai perbuatan yang syirik. Padahal sesungguhnya orang-orang yang mengabaikan wasilah pada hakikatnya telah menjadikan diri mereka sebagai orang-orang yang syirik kepada Allah karena tidak dapat mengenal-Nya, apalagi dapat mengingat-Nya.
            Namun mayoritas umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Di mana-mana umat Islam saat ini banyak melaksanakan kegiatan zikir, baik secara individu maupun secara beramai-ramai, baik di masjid-masjid, hingga di majelis zikir, dan do’a bersama yang dilaksanakan di lapangan terbuka, namun sesungguhnya mereka hanya memuji tetapi tidak mengenal yang mereka puji. Sesungguhnya zikir yang dilaksanakan tanpa disertai hati yang mengingat Allah, pada hakikatnya adalah pekerjaan yang sia-sia dan tidak memberikan manfaat apa-apa, karena Allah Ta’ala tidak akan memberi penilaian sama sekali terhadap apa yang mereka perbuat.
            Lalu bagaimanakah zikir yang sesungguhnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut akan penulis kutipkan penjelasan firman Allah mengenai hal ini :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِى نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُنْ مِنَ الْغَفِلِيْنَ.
Artinya : “Dan ingatlah Tuhanmu di dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dizahirkan dengan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang lalai”. (Q.S. 7 al-A’raf: 205).
            Firman Allah di atas menegaskan bahwa mengingat Allah itu tidak dizahirkan dengan suara. Makna tidak dizahirkan dengan suara juga meliputi tidak boleh disebut-sebutkan di dalam hati, sebab bila mengingat Allah itu dilakukan dengan menyebut asma Allah itu di dalam hati dengan tidak dizahirkan, maka sesungguhnya kemampuan manusia sangat terbatas untuk melakukan hal itu. Karena perintah untuk mengingat Allah itu harus dilakukan pada setiap saat, kapan saja, dan di mana saja. Sebagai contoh misalnya, pada saat kita sedang beraktifitas, seperti berfikir dan berbicara, tentu mengingat Allah dengan menyebut-nyebut asma-Nya di dalam hati tidak akan dapat terlaksana, sedangkan Allah memerintahkan kepada kita untuk mengingat-Nya di waktu pagi dan petang, di mana saja, dan kapan saja, baik di waktu duduk dan berdiri, di waktu diam dan berbicara dan disegala aktifitasnya sebagai hamba Allah yang beriman, kita diperintahkan untuk selalu mengingat-Nya. Oleh sebab itu Allah  memerintahkan  kepada kita untuk mengingat-Nya di dalam diri. Makna di dalam diri pada ayat ini tentunya tidak hanya sebatas qalbu saja, tetapi meliputi seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya diperintahkan untuk berhadap berzikir kepada Allah hingga darah yang setitik dan rambut yang sehelai semuanya berhadap berzikir kepada Allah.
            Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa zikir yang sesungguhnya tidak dizahirkan dengan ucapan dan tidak pula disebut-sebutkan di dalam hati. Oleh sebab itu yang dapat berzikir kepada Allah sesungguhnya hanya orang-orang yang telah menyertakan diri kepada orang yang telah serta kepada Allah, karena tanpa Guru (wasilah), mustahil manusia dapat mengenal Allah. Sesungguhnya penyebab umat Islam saat ini tidak dapat mengenal Allah disebabkan ulama-ulama fasiq, sebagaimana sabda Nabi SAW:
عَنْ عَلِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانُ لاَيَبْقَى مِنَ اْلإِسْلاَمِ اِلاَّ اِسْمُهُ وَلاَمِنَ الدِّيْنِ اِلاَّ رَسْمُهُ وَلاَمِنَ الْقُرْأَنِ اِلاَّ دَرْسُهُ مَسَاجِدَهُمْ عَامِرَةٌ وَهُوَ خَرَبٌ عَنْ ذِكْرِاللهِ, أَشَرُّ عَلَى ذَلِكَ الزَّمَانُ عُلَمَائُهُمْ. قُلْتُ يَارَسُولَ اللهُ : يَكُوْنَ فِى اْلأَخِرِ الزَّمَانِ عُبَادِ جَاهِلُوْنَ وَالْعُلَمَاءُ فَاسِقُوْنَ.
Dari Ali r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang nanti di akhir zaman agama Islam itu tinggal namanya, agama Islam itu tinggal bentuknya saja, Al-Qur’an tinggal di bibir saja dan banyak yang beramal ibadah di masjid-masjid, namun hati mereka kosong yang ingat kepada Allah, yang paling berbahaya pada akhir zaman nanti adalah para ulama. Maka berkata Ali: “Katakanlah ya Rasulullah”, maka berkata Rasulullah : Akan terjadi nanti di akhir zaman banyak orang yang bermal ibadah bodoh-bodoh disebabkan ulama-ulama fasiq.
            Hadis di atas menjelaskan bahwa akan terjadi di masa yang akan datang nanti banyak orang yang berzikir di masjid-masjid, namun tidak ada satupun di antara mereka yang hatinya mengingat Allah. Yang paling ditakutkan Nabi di akhir zaman nanti bukanlah Yahudi dan Nasrani, akan tetapi para ulamalah yang ditakuti Nabi, yaitu ulama-ulama fasiq, dimana mereka hanya pandai berbicara, namun mereka tidak pandai memperbuatnya. Ulama-ulama masa kini senantiasa selalu menganjurkan dan menyeru umatnya untuk berzikir, namun mereka sendiri sesungguhnya tidak tahu bagaimana tata cara berzikir kepada Allah yang sesungguhnya. Dan penyakit yang lebih parah sesungguhnya adalah mereka itu tidak tahu kalau mereka itu tahu, bahkan yang lebih parah lagi adalah mereka tidak mau tahu akan hal-hal yang mereka belum ketahui, karena mereka telah sangat puas dengan yang telah mereka ketahui. Sesungguhnya inilah penyakit yang paling berbahaya, karena disebabkan kesombongannya ia telah menghijab dirinya sendiri dari kebenaran itu. Oleh sebab itu Allah mengutuk orang-orang seperti ini sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَاللهِ أَنْ تَقُولُواْ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan”. (Q.S. 61 as-Shaff: 2-3).
            Jadi sesungguhnya yang menjadi perusak Islam itu tidak lain adalah ulama itu sendiri. Salah satu contoh kerusakan yang dilakukan oleh ulama masa kini terhadap Islam adalah penolakan mereka terhadap wasilah yang mereka anggap sebagai perbuatan syirik dan mereka menganggap bahwa tauhid merekalah yang paling murni. Kebencian mereka terhadap Ahli Tarekat mencapai puncaknya dengan timbulnya gerakan Wahabiyah yang amat ketat mengamalkan kemurnian Syari’at yang secara terang-terangan telah menyapu bersih Ahli-ahli Tarekat dari Saudi Arabia dengan alasan pemurnian tauhid. Sesungguhnya kebencian mereka terhadap Ahli-ahli Tarekat adalah disebabkan keawaman dan ketidakpahaman mereka terhadap ajaran Tarekat yang sebenarnya. Dengan dalih pemurnian tauhid, gerakan Wahabi dengan pahamnya, telah menyesatkan umat Islam sehingga mereka tidak mengenal Tuhannya. Maka tidaklah berlebihan jika Imam al-Ghazali berpendapat bahwa andaikata orang awam itu berbuat zina dan mencuri itu adalah lebih baik baginya, daripada ia membicarakan tentang Allah dan agama-Nya tanpa ilmu yang sempurna, niscaya ia terjerumus dalam juram kekufuran tanpa disadari, sebagaimana orang yang hendak mengarungi lautan yang dalam tetapi ia tidak mengerti cara berenang.
            Demikianlah dampak yang ditimbulkan oleh kebencian yang dilakukan oleh orang-orang yang menolak Ahli-ahli Tarekat yang disebabkan oleh ketidakpahaman mereka. Dengan dalih pemurnian tauhid, tidak hanya diri mereka saja yang telah sesat, bahkan dengan gerakan Wahabinya, mereka telah mengajak seluruh umat Islam untuk mengikuti kesesatan yang mereka lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar