Laman

Jumat, 10 Januari 2014

Ilmu dan Kesempurnaan Manusia



Ilmu dan kesempurnaan manusia terbagi ke dalam dua belas bagian, begitu pun ilmu batin. Semua bagian ilmu ini dianugerahkan kepada orang dan hamba Allah yg sangat istemewa sesuai dengan potensi dan kemampuan mereka.

Aku sendiri membagi ilmu itu ke dalam empat bagian. Bagian pertama berkaitan dengan kewajiban dan aturan agama mengenai segala sesuatu dan segala perbuatan di dunia ini. Bagian kedua berkaitan dengan makna batin dan sebab di balik semua ajaran ini. Bagian ini disebut tasawuf—pengetahuan konseptual mengenai segala sesuatu yg bersifat zhanni (tidak pasti). Bagian ketiga adalah falsafah, yg mengkaji rahasia hakekat nurani. Bagian keempat membahas hakikat batin ilmu ini, yakni ilmu mengenai kebenaran. Manusia sempurna harus mempelajari dan mengetahui semua ilmu ini dan mencari jalan untuk meraihnya.

Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah pohon, tasawuf adalah cabangnya, falsafah adalah daunnya, kebenaran adalah buahnya. Dan semua itu terkandung dalam Al-Qur’an, dengan tafsir, uraian, dan takwilnya.”

Dalam kitab al-Majma’, kata tafsir—penjelasan, dan ta’wil—tafsir dengan analogi didefinisikan sebagai berikut: “Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan untuk memberikan pemahaman kepada kaum awam, sedangkan takwil adalah uraian terhadap makna batin melalui ilham yg diterima seorang mukmin sejati, takwil hanya diperuntukkan bagi hamba Allah yg istimewa, yg berpendirian teguh, setia kepada cita-cita ruhani, dan menguasai ilmu untuk memilah antara yg benar dan yg salah. Layaknya pohon kurma yg akarnya menghujam ke bumi, kaki mereka berdiri kokoh di alam materi ini; dan bagaikan pohon kurma yg rantingnya menjulang ke angkasa, hati dan pikiran mereka pun menjulang meraih ilmu samawi.” Berkat rahmat Allah, keteguhan yg tanpa keraguan bertahta di pusat hati mereka. Tingkat keteguhan ini sejajar dengan paruh kedua kalimat tauhid: la ilaha illallaah—illallah, “kecuali Allah”, yg menegaskan keesaan.

“Dialah yg menurunkan Al-Kitab kepadamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yg muhkamat, itulah pokok-pokok Al-Qur’an dan yg lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Orang yg hatinya condong kepada kesesatan mengikuti sebagian ayat-ayat yg mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yg mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang yg mendalam ilmunya beriman kepada ayat-ayat yg mutasyabihat, “semuanya dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang yg berakal.” (al ‘Imran: 7)

Seorang mufasir menjelaskan ayat ini bahwa seandainya pintu ayat ini dibuka, semua pinu rahasia alam batin juga akan dibuka.

Jamba sejati wajib melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia juga wajib melawan hawa nafsu dan syahwatnya. Nafsu melawan agama dengan memunculkan khayalan yg bertentangan dengan kenyataan. Pada tataran tasawuf, nafsu yg licik membujuk manusia untuk menerima dan mengikuti sebab-sebab dan konsep-konsep yg seolah-olah benar, mengikuti pesan kenabian dan ucapan para wali yg tidak sahih, serta mengikuti para guru atau pemikiran yg sesat. Pada tataran falsafah, nafsu selalu berupaya mendorong manusia untuk mengaku-aku sebagai wali atau bahkan Tuhan—dosa terbesar karena menjadi sekutu bagi Allah:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yg menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya…” (al-Furqan: 43)
Berbeda dengan ketiga tingkatan ilmu yg pertama, nafsu maupun setan tidak akan sampai pada tataran kebenaran, atau hakikat—bahkan para malaikat pun tak dapat menyentuhnya. Siapa pun, kecuali Allah, yg mendekati kawasan itu akan hancur menjadi debu, sebagaimana dikatakan oleh Jibril a.s, kepada Nabi Muhammad ketika ia tiba di tepi kawasan itu, “Jika aku melangkah satu langkah lagi, aku akan hancur menjadi debu.”

Hamba sejati Allah terlindungi dari setan dan perlawanan hawa nafsunya karena ia memiliki perisai keikhlasan dan kesucian.

“Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, akan kusesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yg ikhlas.” (Shad: 82-83)

Manusia takkan bisa menapai hakikat kecuali dengan menyucikan dirinya, karena sifat-sifat duniawi tidak akan meninggalkannya hingga ia meraih hakikat. Itulah kebenaran dan kebaikan sejati. Ketika ia mencapai ilmu tentang hakikat Allah, semua kebodohannya sirna. Tingkatan ini takkan bisa dicapai melalui pembelajaran. Hanya Allah yg dapat mengajarkannya, tanpa perantara. Dialah satu-satunya guru yg memberikan pengetahuan seperti yg diberikan kepada Khidir. Orang yg dianugerahi pengetahuan akan meraih tingkatan makrifat sehngga ia mengenal Tuhannya dan menyembah-Nya.

Ia akan dapat melihat ruh suci dan kekasih Allah yakni Nabi Muhammad saw, yg akan berbincang dengannya mengenai segala sesuatu, dari awal hingga akhir. Semua nabi dan orang suci akan memberinya kabar gembira mengenai janji persatuan dengan Sang Kekasih. Allah menguraikan keadaan ini dalam ayat Al-Qur’an:
“Dan siapa saja yg menaati Allah dan rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang yg dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan orang saleh. Dan mereka itulah teman yg sebaik-baiknya. “ (al-Nahl: 69)

Orang yg tak dapat menemukan ilmu itu dalam dirinya tidak akan menjadi orang bijak meskipun membaca jutaan kitab. Hasil yg dapat diharapkan dari pencapaian ilmu lahir tentang berbagai hal yg bersifat pasti adalah surga: semua yg akan dilihatnya di sana adalah manifestasi sifat-sifat Allah dalam bentuk cahaya. Sesempurna apa pun pengetahuannya mengenai hal-hal yg nyata dan abstrak takkan bisa membantunya memasuki kawasan suci, yg dekat kepada Allah. Seseorang harus terbang menuju ke sana. Agar bisa terbang, ia butuh dua sayap. Hamba sejati Allah adalah orang yg terbang ke sana dengan sayap ilmu lahir dan batin, tak pernah berhenti di tengah jalan, dan tak pernah terhambat. Dalam sebuah hads qudsi, Allah berfirman:
“Hamba-Ku, jika kau ingin berada di dekat-Ku, jangan menaruh perhaian terhadap dunia ini, atau alam malakut, atau bahkan alam yg lebih tinggi tempat kau menerima sifat-sifat ketuhanan-Ku.”

Alam materi ini adalah godaan atau setan bagi orang berilmu. Alam malakut adalah godaan bagi kaum bijak, dana alam sifat-sifat Ilahi adalah godaan bagi ahli hakikat. Siapa saja yg merasa puas pada salah satunya, ia tertolak dari karunia Allah yg akan membuatnya lebih dekat kepada-Nya. Jika seseorang terperdaya oleh semua godaan ini, ia akan berhenti, tak bisa meneruskan langkah, dan tak kuasa bergerak ke tempat yg lebih tinggi lagi. Meskipun bertujuan unuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta ia takkan pernah bisa mencapainya. Ia terhalang; ia hanya memiliki sebelah sayap.

Namun, para ahli hakikat menerima karunia itu dari Allah; anugrah yg tak dapat dilihat mata, tak didengar telinga, atau tak terlintas dalam hati. Itulah surga kedekatan; anugerah keintiman. Di sana tak ada istana yg terbuat dari permata, juga tak ada pelayan-pelayan yg cantik belia. Setiap orang harus mengetahui bagiannya dan tak menghendaki apa yg bukan haknya. Hadrah ‘Ali r.a. berkata, “Semoga Allah menunjukkan rahmat-Nya kepada orang yg mengetahui bagiannya, yg sadar untuk tetap berada di batas-batasnya, yg mengendalikan lisannya, dan yg tidak menghabiskan usianya dalam kesia-siaan.”

Orang yg mengetahui harus menyadari bahwa anak ruh yg dilahirkan di dalam hatinya merupakan hakikat sejati kemanusiaan. Ia harus mendidik anak hati ini dengan ajaran tauhid dan melatihnya agar senantiasa mengingat keesaan, menjauhkan diri dari alam materi dan kemajemukan ini, serta mencari alam ruhani, alam rahasia, yg hanya ditempati oleh dzat Alalh. Pada hakikatnya, tak ada tempat lain selain tempat itu; tempat yg tak memiliki awal maupun akhir. Sang anak hati mencapai kawasan yg tak terbatas itu seraya melihat segala sesuatu yg tak pernah dilihat siapa pun, yg tak terkatakan lisan siapa pun, dan yg tak pernah diceritakan siapa pun. Tempat itu adalah tanah air orang yg telah mencampakan diri mereka sendiri merasakan kebersatuan dengan Tuhan, mata keesaan. Ketika melihat keindahan dan karunia Tuhan, wujud mereka yg fana tak lagi bersisa. Seseorang yg menatap matahari takkan bisa melihat sesuatu yg lain. Jika keindahan dan karunia Allah mengejawantah, masih adakah diri? Tentu tak ada.

Nabi ‘Isa a.s. bersabda, “Manusia harus dilahirkan dua kali untuk mencapai alam malakut, bagaikan burung yg dilahirkan dua kali.” Kelahiran yg kedua adalah kelahiran makna dari perbuatan, kelahiran jiwa dari daging. Kemungkinan itu ada dalam diri manusia. Itulah rahasia manusia. Ia lahir dari persekutan ilmu agama dengan kesadaran akan hakikat, sebagaimana semua anak lahir karena perpaduan dua jenis air.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yg bercampur; Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insan: 2)

Ketika makna mengejawantah dalam wujud, ia dapat melewati bagian yg dangkal menuju samudra penciptaan dan menyelam di kedalaman perintah Allah. Dibandingkan alam ruhani, seluruh alam materi ini hanyalah seperti setetes air samudra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar