Laman

Jumat, 10 Januari 2014

Jiwa bertakhta dalam Raga



Tempat ruh manusia, nyawa kehidupan, di dalam raga adalah dada. Tempat itu dihubungkan dengan indra. Urusan yg dihadapinya adalah agama dan tugasnya adalah mengikuti ajaran-ajaran Allah, yg bertujuan memelihara alam nyata agar tetap selaras dan teratur. Setiap jiwa melaksanakan kewajiban yg ditetapkan oleh Allah atas dirinya serta tidak mengaku-aku bahwa amal perbuatannya berasal dari dirinya sendiri. Sebab, ia tak terpisahkan dari Allah; tak ada pemisah antara “aku” dan Allah dalam amal perbuatan dan ibadahnya:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, kerjakanlah amal saleh dan janganlah mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. “ (al-Kahfi: 110)

Allah Maha Esa. Dia mencintai setiap yg esa dan tunggal. Dia menghendaki agar semua pengabdian dan amal saleh, yg dipandang-Nya sebagai ibadah, hanya untuk-Nya. Karena itu, jangan memedulikan rasa suka atau benci orang lain terhadap perbuatannya. Selain itu jangan lakukan perbuatan dengan tujuan meraih sesuatu yg bersifat duniawi. Semua amal harus dilakukan hanya demi dan untuk Allah. Kemampuan luar biasa, seperti melihat tanda-tanda keberadaan Allah—manifestasi-manifestasi sifat-sifat-Nya, ketunggalan dalam kemajemukan, hakikat di balik penampakan—dan kedekatan kepada Sang Pencipta merupakan buah amal saleh dan keikhlasan ibadah. Tetapi semua ini masih berkaitan dengan kehidupan ragawi, dari ujung kaki hingga ke langit. Kemampuan luar biasa seperti berjalan di atas air, terbang di angkasa, menempuh jarak yg jauh dalam waktu singkat, mendengar atau melihat dari jarak yg sangat jauh, mengetahui pikiran orang lain, dan lain-lain, juga bersifat duniawi. Seseorang boleh mengharapkan balasan kebaikan di akherat—istana surga, pelayan2 belia, wanita yg selalu perawan sebagai istri, susu, madu, anggur dan semua nikmat surga lainnya—atas amal salehnya di dunia. Namun, semua nikmat itu hanyalah karunia surga tingkatan terendah, yaitu surga duniawi.

“Jiwa aktif” bertempat di dalam hati. Ia bertugas untuk mengetahui jalan ruhani. Ia terhubung dengan empat Asma’ul Husna yg pertama. Seperti dua belas nama Allah lainnya, keempat nama ini pun tanpa suara maupun huruf sehingga tak dapat dilafalkan. Allah berfirman:
“Dan katakanlah: “Serulah Allah atau serulah al-Rahman. Dengan nama mana pun kauseru, Dia memiliki nama-nama yg indah (al-Asma’ul Husna).” (al-Isra’: 110)

“Allah memiliki nama-nama yg indah (al-Asma’ul Husna) maka serulah Dia dengannya.” (al-A’raf: 180)

Banyak firman Allah yg merupakan pedoman utama bagi manusia unuk mengetahui nama-nama Allah. Ini merupakan pengetahuan tentang wujud bathin seseoarang. Jika ia dapat meraihnya, niscaya ia dapat meraih maqam makrifat, yakni ketika ia mengetahui Nama Yang Esa secara sempurna.

Nabi Muhammad saw bersabda, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Barang siapa mengenalnya, ia akan masuk surga.”

Dalam hadits yg lain ia bersabda, “Ilmu itu satu. Kemudian orang-orang berilmu membuatnya menjadi seribu.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa hanya ada satu nama bagi dzat yg tunggal, yg kemudian terpantulkan menjadi seribu sifat dalam diri orang-orang yg menerimanya.

Pada dasarnya dua belas nama Allah itu bersumber dari kalimat syahadat: La ilaha illallah—tidak ada Tuhan selain Allah. Kedua belas nama itu diwakili oleh setiap huruf dari penggalan kalimat tauhid ini.

Allah telah menetapkan satu nama pada tiap huruf dalam kalimat itu. Dan keempat alam yg dilewati jiwa juga memiliki namanya masing-masing Allah mengukuhkan hati para pecinta dalam cinta-Nya. Dia berfirman:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yg beriman dengan ucapan yg teguh di kehidupan dunia dan akherat…” (Ibrahim : 27)

Kemudian Dia menagurehai mereka kedekatan kepada-Nya. Dia menanamkan pohon tauhid dalam hati mereka. Akhirnya menancap di lapis ketujuh bumi yg kita pijak dan cabangnya menjulang ke tujuh lapis langit hingga mencapai ‘Arasy dan mungkin lebih tinggi lagi. Allah berfirman:
“Tidaklah kauperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yg baik seperti pohon yg baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (Ibrahim: 24)

“Jiwa aktif” berada di dalam hati yg hidup pusat perhatiannya adalah alam malakut. Ia dapat melihat surga alam ini, para penghuninya, cahaya, semua malaikat yg ada di sana. Percakapannya adalah percakapan batin, tanpa kata dan tanpa suara. Pikirannya selalu terarah kepada hakikat makna rahasia. Tempat kembalinya di akhirat adalah Jannah Na’im, surga yg berisi segala nikmat dari Allah.

Tempat “jiwa sultan”, satu tempat ia menjalankan pemerintahannya, adalah pusat atau inti hati. Tugasnya adalah mencapai ma’rifat, dan ia harus menangani pengetahuan tentang semua bentuk ma’rifat, yg merupakan sarana pengabdian kepada Allah. Rasulullah saw mengatakan bahwa “Ilmu terbagi ke dalam dua bagian; bagian yg berada pada lidah manusia, yg meneguhkan keberadaan Allah, dan bagian yg ada dalam hati. Ilmu itulah yg mutlak dibutuhkan untuk meraih tujuan manusia.” Buah ilmu yg sejati hanya bisa dicapai oleh aktivitas hati. Rasulullah saw bersabda, “Al-Qur’an memiliki makna lahir dan makna batin.” Allah mewahyukan Al-Qur’an dalam sepuluh lapis makna. Lebih tinggi tingkatan maknanya, lebih besar manfaatnya, karena lebih dekat kepada hakikat. Kedua belas nama Allah adalah laksana dua belas mata air yg memancar dari batu yg dipukul Nabi Musa a.s. dengan tongkatnya:
”Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing)…” (al-Baqarah: 60)

Ilmu lahir laksana air hujan, yg datang dan pergi, sedangkan ilmu batin laksana mata air yg tak pernah kering. Allah berfirman:
“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka adalah bumi yg mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian maka darinya mereka makan.” (Yasin: 33)

Allah telah menciptakan sebutir benih di langit yg kemudian menjadi kekuatan hewani dalam diri manusia. Dia pun telah menciptakan benih di alam jiwa (‘alam al-anfus), yg merupakan sumber tenaga, makanan bagi jiwa. Benih itu disirami oleh mata air ilmu. Rasulullah saw bersabda, “Jika seseorang jujur dan suci selama empat puluh hari, niscaya sumber ilmu akan memancar dari hatinya menuju lidahnya.”

Jiwa sultan akan merasakan takjub dan cinta setelah menyaksikan manifestasi keindahan, karunia, dan kesempurnaan Allah:
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yg sangat kuat; yg memiliki akal yg cerdas. Dan (Jibril) menampakkan diri dalam rupa yg asli, sedang ia berada di ufuk yg tinggi. Kemudian ia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Jadilah ia dekat (kepada Muhammad sejarak) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu ia sampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yg telah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yg telah dilihatnya.” (al-Najm: 5-11)

Dengan ungkapan indah Rasulullah saw menjelaskan keadaan ini, “Mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” Mukmin pertama dalam hadits ini adalah hati orang beriman yg sempurna, dan mukmin kedua, yg tercermin pada hati orang yg beriman, adalah Allah Ta’ala, karena Dia menamai diri-Nya sendiri sebagai “Mukmin”:

“Dialah Allah yg tiada tuhan selain Dia … yg memberi keamanan (al-mu’min) …” (al-Hasyr: 23)

Rumah jiwa sultan di akherat adalah firdaws—surga samawi.

Ruh suci bertahta di pusat hati, yg juga menjadi tempat Dia menyimpan rahasia-Nya (sirr). Dalam sebuah hadits qudsi Allah menjelaskan, “Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya.” Ruh suci berusaha meraih hakekat melalui tauhid. Ia membawa kemajemukan ke dalam ketunggalan dengan terus-terusan melafalkan Yang Esa dalam bahasa rahasia Ilahi—bukan bahasa lahir yg dapat didengar telinga.

“Dan jika kaukeraskan ucapanmu, sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yg lebih tersembunyi.” (Thaha: 7)

Hanya Allah yg mendengar bahasa ruh suci, dan hanya Dia yg mengetahui keadaannya.

Keunggulan ruh suci adalah dapat melihat makhluk yg pertama diciptakan—keindahan Allah. Ia memiliki rahasia penglihatan. Baginya, melihat dan mendengar adalah satu. Baginya, tak ada perbedaan dalam segala yg dilihatnya. Baginya, kekuatan dan murka Allah menyatu dengan sifat keindahan, karunia dan kasih sayang-Nya.

Ketika manusia menemukan tujuannya, rumah nya, seperti ketika menemukan akal sebab, pikiran yg dulu mengendalikannya tunduk kepada titahnya,: hatinya berlabuh dalam keterpesonaan, lidahnya menjadi kelu. Ia tak memiliki daya untuk menyampaikan kabar tentang semua keadaan ini, karena tak ada sesuatu pun yg menyamai Allah.

Jika penjelasan ini didengar oleh orang-orang yg mengetahui, biarkan mereka memahami lebih dahulu tingkatan pengetahuan mereka; biarkan mereka mencurahkan segenap perhatian kepada realitas sejati segala sesuatu yg mereka ketahui sebelum berusaha melihat ke ufuk yg lebih jauh, dan sebelum berupaya mencapai tingkatan baru. Dengan begitu, mereka dapat meraih tingkatan pengetahuan mengenai karunia Ilahi. Alih-alih mengingkari penjelasan yg telah kami sampaikan, mudah-mudahan mereka berusaha mencari pengetahuan untuk meraih ketunggalan, keesaan. Itulah langkah penting yg harus mereka tempuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar