Laman

Jumat, 10 Januari 2014

MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKHABDUL QADIR AL-JAILANI (BAGIAN KEDUA/TERAKHIR


"Disadur dari Kitab Mawa’idz Asy-Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Karya Syaikh Shalih Ahmad Asy-
Syami"
Aminnya Para Malaikat Didengar saat Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani Mengimami Shalat
Sahl bin Abdullah at-Tustari meriwayatkan bahwa,
pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani di Baghdad mencari-cari guru mereka.
Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga
diketemukan. Ketika seseorang mengatakan bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan ke arah
sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya
di sana, mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani berjalan di permukaan sungai. Mereka
melihat semua ikan muncul di permukaan dan
menyalami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Peristiwa ini terjadi pada waktu Dzuhur. Mereka
melihat permadani luas terhampar di atas kepala
mereka, dan menutupi angkasa. Pada permadani
itu tertulis ayat dengan tinta emas dan perak:
“Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula
mereka bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para
malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran
tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat Allah dan
keberkahanNya, dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait.
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).
Layaknya permadani terbang Nabi Sulaiman As.,
permadani itu terbang melayang lalu turun ke
tanah. Dengan rasa takjub , tenang dan tentram,
orang-orang berjalan menuju permadani itu. Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani yang tampak megah dengan
pakaian yang indah juga melangkah ke arah
permadani, lalu menjadi imam shalat.
Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat
tangannya dan mengucapkan: “Allahu Akbar,”
seluruh angkasa menggemakan kalimat yang
sama. Ketika beliau shalat, para malaikat tujuh
lapis langit secara tertib mengikuti beliau.
Ketika beliau mengucapkan: “Alhamdulillah,” sinar
kehijauan memancar dari mulut beliau dan
menyebar ke seluruh angkasa.
Di akhir shalat, seraya menengadahkan tangan
beliau berdoa: “Ya Allah, demi leluhurku dan
kekasihMu Muhammad Saw., dan demi para
hambaMu yang bertakwa dan mencintaiMu, jangan
cabut nyawa para pengikutku kecuali jika dosa-
dosa mereka telah diampuni dan iman mereka
telah disempurnakan.”
Semua hadirin mendengar para malaikat
bersamaan berucap: “Aamiin.” Mereka mengikuti
aminnya para malaikat. Lalu mereka semua
mendengar suara dari dalam diri mereka sendiri:
“Bergembiralah. Aku telah mengabulkan doamu.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Syaikh yang sempurna
laksana nabi bagi para pengikutnya. Dan
sesungguhnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
termasuk diantara syaikh yang sempurna yang
telah membukkan pintu kebahagian dunia ini untuk
para pengikutnya dan pintu surga di akherat
kelak.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah berhasil
menaklukan nafsunya dan telah berhasil menjadi
manusia sempurna berkat ilham dan perintah Nabi
Saw. Beliau menjadi guru yang punya hubungan
kuat dengan manusia dan niat kuat meneladani
Nabi Muhammad Saw.
Ketika Empat Istri Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Mengadu
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki empat
orang istri, yang semuanya sangat setia dan taat
kepada beliau. Dari ke empat istri beliau, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani memiliki 49 anak, 27 laki-
laki dan 22 perempuan.
Suatu hari, istri-istri beliau mendatangi beliau dan
berkata: “Wahai pemilik akhlak yang mulia, anak
bungsumu wafat dan kami tak melihatmu menangis
atau bersedih. Tidakkah kau menyanyangi orang
yang menjadi bagian dari dirimu? Kami sangat
berduka, tetapi engkau tetap sibuk dengan
urusanmu seakan-akan tak ada yang terjadi. Kau
adalah pemimpin, pembimbing dan harapan kami
di dunia maupun di akherat. Tetapi, hatimu
sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar
kepadamu di hari kiamat dan berharap kau dapat
menyelamatkan kami?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab:
“Sahabat-sahabatku tercinta, jangan pernah
mengira hatiku keras. Aku mengasihi orang kafir
karena kekafiran mereka. Aku mengasihi anjing
yang menggigitku dan berdoa kepada Allah agar
tidak menggigit orang lain dimana mereka akan
melemparinya dengan batu. Tidaklah kalian tahu
bahwa aku mewarisi kasih sayang dari orang yang
telah diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta
alam?”
Para istri beliau berkata: “Engkau mengasihi
bahkan kepada anjing yang menggigitmu, tetapi
mengapa engkau tak menunjukkan rasa iba atas
anakmu yang telah dipenggal pedang kematian?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Duh
sahabat-sahabatku yang malang, kau menangis
karena berpisah dengan anak yang kau cintai. Kau
melihat anakmu dalam mimpi duniawi dan kau
kehilangan dia dalam mimpi yang lain. Allah
berfirman: “Dunia ini adalah mimpi.” Dunia ini
adalah mimpi bagi orang-orang yang tidur.
Sementara aku tetap terjaga. Aku melihat anakku
ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia
telah keluar dari lingkaran itu. Aku masih
melihatnya, dan ia tetap bersamaku. Ia sedang
bermain di dekatkku persis seperti saat-saat
sebelumnya. Ketahuilah, jika kau melihat dengan
mata hati, baik dalam keadaan hidup maupun
mati, kebenaran tidak akan pernah hilang.”
Godaan Setan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani dan para pengikut beliau berjalan
kaki di padang pasir dan saat itu padang pasir
benar-benar panas. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
bercerita:
“Aku merasa sangat lelah dan dahaga. Para
pengikutku berjalan di depanku. Tiba-tiba
sekumpulan awan muncul di atas kepala, seperti
payung yang melindungi kami dari terik matahari.
Di depan kami muncul sebuah mati air yang jernih
dan sebatang pohon kurma penuh dengan buah
yang telah masak.
Lalu, muncullah cahaya yang lebih terang dari
matahari. Dari arah sinar itu terdengar suara: “Hai
umat Abdul Qadir, akulah Tuhan! Makan dan
minumlah, sebab telah kuhalalkan untukmu apa
yang kuharamkan atas orang lain.”
Para pengikutku yang berada di depanku berlarian
menuju mata air dan pohon kurma itu. Aku
berteriak menghentikan mereka. Kutantang sinar itu
seraya berteriak: “Aku berlindung kepada Allah
dari setan yang terkutuk!”
Seketika, awan, cahaya, mata air dan pohon
kurma itu lenyap. Setan itu berdiri di depan kami
dengan rupa yang sangat buruk. Ia bertanya:
“Bagaimana kau mengenaliku?”
Kukatakan pada setan terkutuk yang telah diusir
dari rahmat Allah itu: “Firman Allah bukanlah
dalam bentuk suara yang dapat didengar telinga.
Selain itu, aku tahu hukum Allah bersifat tetap dan
berlaku atas semua orang. Dia takkan
mengubahnya atau menghalalkan yang haram bagi
sekelompok orang yang disukaiNya.”
Mendengar ucapanku, setan menggoda agar aku
menjadi angkuh: “Hai Abdul Qadir, aku telah
memperdaya tujuh puluh nabi dengan muslihat ini.
Sungguh ilmu dan kebijaksanaanmu lebih tinggi
daripada nabi.”
Kemudian setan itu menunjuk ke arah pengikutku
dan berkata: “Hanya sebanyak inikah pengikutmu?
Seharusnya seluruh dunia menjadi pengikutmu
karena kau laksana nabi.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Aku
berlindung darimu kepada Allah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Bukan ilmu
atau kebijaksanaanku yang dapat
menyelamatkanku darimu, melainkan kasih sayang
Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memandang bahwa
segala sesuatu berasal dari Allah. Beliau
melakukan segala sesuatu hanya karena Allah, dan
tidak menisbatkan sesuatupun pada makhluk,
termasuk kepada beliau sendiri. Beliau selalu
mengerjakan apa yang beliau katakan. Beliau
anggap sama, baik pujian atau cercaan, manfaat
atau mudharat. Ilmu beliau luas dan kebijaksanaan
tinggi, bagi beliau, orang berilmu dan tak
mengamalkan ilmunya laksana keledai yang
membawa buku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ilmu Filsafat
Salah seorang syaikh yang sezaman dengan
beliau, yaitu Syaikh Mudzaffar Manshur bin al-
Mubarak al-Wasithi, meriwayatkan:
“Aku mengunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
bersama beberapa muridku. Aku membawa
sebuah buku filsafat. Beliau menyalami dan
memandang kami lalu berkata kepadaku: “Betapa
kotor dan buruknya sahabat yang kau genggam itu.
Pergi dan cucilah tanganmu.”
Aku terkejut mendengar ucapan marah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Tak mungkin beliau
mengetahui isi buku yang memang kusukai dan
nyaris kuhafal itu. Terlintas pikiran untuk berdiri
dan menyembunyikan buku itu di suatu tempat
untuk diambil kembali saat pulang.
Baru saja aku hendak bangkit, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menatapku tajam dan aku tak dapat
berdiri. Beliau memintaku menyerahkan buku itu.
Sebelum kuberikan, aku membukanya untuk
terakhir kali. Namun, tak ada satupun hurup yang
kulihat. Semuanya kosong. Putih. Semua yang
tertulis di sana telah hilang.
Setelah menerima buku itu, beliau amati apa yang
ada di dalamnya lalu menyerahkannya kembali
kepadaku seraya berkata: “Inilah keutamaan al-
Quran yang ditulis oleh Daris.”
Kuterima dan kubuka buku itu. Ternyata, buku
filsafat itu telah diubah menjadi Fadhail al-Quran
karya Ibn Daris, dengan tulisan yang sangat indah.
Kemudian beliau berkata: “Maukah kau bertaubat
dengan lisan dan hatimu?”
“Ya.” Jawabku.
“Berdirilah.”
Ketika aku bangkit, kurasakan semua ilmu
filsafatku luruh dari fikiranku dan jatuh ke tanah.
Tak satu pun kata mengenainya yang tersisa dalam
fikiranku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Dapat Membaca
Pikiran Para Muridnya
Dikisahkan bahwa sekelompok orang berkumpul
dekat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, berharap
dapat mendengarkan ceramah beliau. Namun,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani duduk sangat lama
tanpa berkata sepatah katapun. Jamaah juga
duduk menanti dengan tenang.
Tiba-tiba mereka diliputi kenikmatan. Pikiran dan
imajinasi mereka seakan-akan hilang. Lalu
semuanya secara berbarengan memikirkan hal
sama: “Apa yang tengah dipikirkan syaikh.”
Secepat pertanyaan itu muncul dalam pikiran
mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Baru saja seseorang tiba-tiba datang dari Makkah
bertaubat di depanku lalu pulang kembali.”
Jamaah berfikir serentak: “Mengapa orang yang
dapat terbang langsung dari Makkah ke Baghdad
perlu bertaubat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Terbang di
udara adalah satu hal, namun merasakan cinta
adalah hal lain. Aku telah mengajarinya bagaimana
mencinta.”
Syaikh Abdullah Zayat mengkisahkan bahwa ketika
itu tahun 560 H. Aku menjadi salah seorang murid
di madrasah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Suatu
hari, aku melihatnya pergi meninggalkan rumah
dengan tongkat di tangannya. Aku berkata dalam
hati: “Andai saja ia memperlihatkan keajaiban
melalui tongkat itu.”
Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu
mengetukkan tongkatnya ke pasir. Tiba-tiba
tongkat berubah menjadi cahaya yang memancar
ke langit, menyinari segalanya selama satu jam.
Kemudian ia memegang cahaya itu, dan seketika
berubah kembali menjadi tongkat. Beliau
memandangku lagi dan berkata: “Hai Zayat, itukah
yang kau inginkan?”
Riyadhah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Melalui diri beliau, lebih dari lima ribu orang
Yahudi dan Kristen menjadi Muslim. Lebih dari
seratus ribu bajingan, penjahat, pembunuh,
pencuri dan perampok bertaubat dan menjadi
orang shaleh. Beliau menuturkan bagaimana beliau
mencapai keutamaan itu:
“Selama 25 tahun aku berkelana di padang sahara
Irak. Aku tidur di reruntuhan bangunan. Selama 12
tahun aku menyepi di sebuah reruntuhan kastil di
Sahara Syustar, yang berjarak 12 hari perjalanan
dari Baghdad. Aku berjanji kepada Tuhanku bahwa
aku tidak akan makan dan minum sebelum meraih
kesempurnaan ruhani.
Pada hari ke-40, seseorang datang membawa
setumpuk roti dan makanan, kemudian
meletakkannya di depanku. Lalu ia menghilang.
Tubuhku berteriak: “Aku lapar, aku lapar!”
Nafsuku berbisik: “Janjimu telah kau tepati.
Mengapa kau tidak makan?” Tetapi aku tidak
melanggar sumpahku kepada Allah.
Saat itu Abu Sa’id al-Muharrami lewat di
hadapanku. Ia mendengar jeritan lapar tubuhku,
meski aku tidak mendengarnya. Ia menghampiriku
dan ketika melihat keadaanku yang lemah, ia
berkata: “Apa yang kulihat dan kudengar ini,
wahai Abdul Qadir?”
Jawab Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan
hiraukan wahai sahabatku. Itu hanyalah suara
nafsu yang menantang dan tidak setia. Padahal
jiwaku tunduk kepada tuhanku dengan keadaan
gembira, tenang dan bahagia.”
“Datanglah ke madrasahku di Bab al-Azj,” pinta
Abu Sa’id.
Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku
berkata: “Aku takkan meninggalkan tempat ini
hingga datang perintah Allah.”
Tak lama setelah itu, Nabi Khidhir datang dan
berkata: “Pergilah dan ikutlah bersama Abu
Sa’id.”
Setelah menerima perintah itu, aku pergi ke
Baghdad, ke madrasah Abu Sa’id. Kudapati ia
sedang menungguku di depan pintu. “Aku telah
memintamu untuk dating,” katanya. Lalu ia
memberiku jubah darwis. Sejak saat itu, aku tak
pernah meninggalkannya.
Selama 40 tahun aku tak pernah tidur malam. Aku
mendirikan shalat dengan wudhu shalat
Tahajudku . Aku membaca al-Quran setiap malam
untuk menghilangkan kantuk. Aku berdiri dengan
satu kaki dan bersandar ke dinding dengan satu
tangan. Aku tidak beranjak dari posisiku hingga
khatam al-Quran.
Ketika rasa kantuk tak dapat kutahan, satu suara
akan menyeru dan mengejutkan seluruh tubuhku:
“Hai Abdul Qadir, aku tidak menciptakanmu untuk
tidur! Kau bukan apa-apa. Kuberikan kepadamu
kehidupan. Karena itu, meskipun kau hidup, kau
tidak mengenal kami.”
Suatu hari, seseorang bertanya: “Wahai Abdul
Qadir, kami mendirikan shalat, berpuasa dan
menaklukkan nafsu sepertimu. Mengapa kami tidak
menerima tingkatan ruhani yang tinggi dan
mendapatkan karamah sepertimu?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Pantas
saja, kau hanya berusaha menyaingiku dalam
amal. Kau kira telah melakukan apa yang
kulakukan, padahal kau hanya meniruku. Kau
mencerca Allah karena tidak memberimu imbalan
yang sama. Allah adalah saksiku ketika aku tak
makan dan tak minum kecuali jika Penciptaku
memerintahkanku. Makan dan minumlah, kau
berhak atasnya karena aku dan demi tubuh yang
telah kuberikan kepadamu. Tak pernah kulakukan
sesuatupun tanpa perintah Tuhanku.”
Ketika Hujan Takut kepada Syaikh Abdul Qadir Al-
Jailani
Syaikh Ali bin Musafir menuturkan: “Bersama
ribuan orang lainnya, aku berkumpul untuk
mendengarkan ceramah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani di tempat terbuka. Ketika ia berbicara,
hujan turun lebat dan sebagian orang mulai
meninggalkan majelis. Langit tertutup awan pekat.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lalu menengadahkan
tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, aku telah
berusaha mengumpulkan manusia demi Engkau,
apakah Engkau menjauhkan mereka dariku?”
Tak lama kemudian hujan pun berhenti. Tak ada
setetes pun air hujan turun hingga Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani selesai berceramah, meskipun di
luar tempat kami berkumpul hujan turun dengan
derasnya.
Takluknya Orang Terkaya Baghdad di Hadapan
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa Abdus Shamad bin Humam
termasuk orang terkaya di Baghdad. Ia dikenal
sangat cinta dunia, sombong dan takabur. Ia
bangga telah memiliki dunia dan banyak orang
yang bekerja kepadanya, ia mengira dapat
menguasi dan memerintah mereka untuk
melakukan apa saja sesenang hatinya.
Sebagai materialis sejati, ia terang-terangan tidak
menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
mengingkari karamahnya. Ia menuturkan
pengalamannya berikut ini:
“Sebagaimana kalian ketahui, aku tak pernah
menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meskipun
kekayaanku berlimpah dan aku dapat memiliki
apapun yang aku inginkan, aku tak pernah merasa
puas senang dan tenang.
Pada suatu Jum’at, ketika aku lewat di dekat
madrasahnya, aku mendengar adzan. Aku berkata
dalam hati: “Apa sih keunggulan orang ini, yang
telah menarik perhatian banyak orang melalui
karamahnya? Aku akan shalat Jum’at di
masjidnya!”
Masjid itu telah penuh sesak. Aku merengsek
menerobos kerumunan orang dan kuperoleh
tempat persis di bawah mimbar. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani mulai menyampaikan khutbahnya
dan apapun yang dikatakannya membuatku
jengkel.
Tiba-tiba aku merasa mulas ingin buang hajat.
Tetapi aku tak dapat keluar dari masjid. Aku takut
dan sangat malu, karena rasa mulas itu tak dapat
kutahan.perasaan jengkelku kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani kian menjadi-jadi.
Namun, ketika aku dibasahi keringat dingin karena
malu dan menahan mulas, pelan-pelan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani menuruni tangga mimbar
dan berdiri di atasku. Seraya berkhutbah, ia
menutupiku dengan bagian bawah jubahnya. Tiba-
tiba saja aku telah berada di lembah yang hijau
dan indah. Kulihat sebuah sungai kecil yang
mengalirkan air yang jernih. Segera saja aku buang
hajat lalu membersihkan diri dan berwudhu.
Setelah itu, kudapati diriku kembali berada di
bawah jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia pun
kembali ke atas mimbar.
Aku sangat takjub. Tidak hanya perutku yang
merasa nyaman, hatiku pun merasa tentram,
semua kejengkelan, amarah dan kekesalan sirna
sudah.
Usai shalat, aku keluar dari masjid dan pulang. Di
tengah jalan, aku sadar bahwa kunci lemariku
hilang. Aku kembali ke masjid dan mencarinya,
namun tak kutemukan.
Keesokan harinya aku harus melakukan perjalanan
niaga. Tiga hari perjalanan dari Baghdad. Kami
tiba di sebuah lembah yang sangat indah. Seakan-
akan dituntun ke tepi sungai yang sangat jernih.
Aku langsung teringat bahwa di sinilah aku buang
hajat dan membersihkan diri. Kini, sekali lagi
kubersihkan diri. Dan ternyataa, di sana
kutemukan kembali kunci lemariku. Sekembali ke
Baghdad, aku menjadi pengikut Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menghidupkan
Tulang Belulang
Karena terpikat oleh ketenaran Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani, seorang perempuan dari Baghdad
memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada
beliau. Ia mengantarnya kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani dan berkata: “Kuserahkan anakku
kepadamu. Anggaplah ia sebagai anakmu sendiri,
dan besarkanlah ia seperti dirimu.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menerimanya dan
mulai mengajarkan kebaikan, kesederhanaan dan
penaklukan hawa nafsu.
Selang beberapa waktu, si ibu datang melihat
keadaan anaknya yang ternyata bertubuh kurus,
pucat dan tengah makan roti kering. Ia marah dan
meminta bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani. Sang ibu melihat syaikh berpakaian rapi,
duduk di ruang yang menyenangkan dan tengah
memakan daging ayam.
“Sementara kau makan daging ayam! Anakku yang
malang yang kutitipkan kepadamu tengah
mengunyah sepotong roti kering.” cercanya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meletakkan
tangannya di atas tulang ayam lalu berkata:
“Dengan nama Allah yang membangkitkan tulang
dari debu, hiduplah!”
Lalu beliau angkat tangannya dan ayam itupun
hidup lalu berlari ke atas meja seraya berkata:
“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad utusan Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menoleh ke arah
perempuan itu dan berkata: “Jika anakmu dapat
melakukan hal ini, ia dapat makan apapun yang
diinginkan.”
Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Lebih Tinggi
Daripada Leher Semua Wali
Suatu malam, lima puluh syaikh terkemuka pada
zamannya di Baghdad berkumpul di rumah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Termasuk diantaranya
adalah al-Hafidz Abu al-Izz Abdul Mughits bin
Harb, yang menuturkan kisah berikut:
“Malam itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tengah
mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan
dari mulutnya. Kami benar-benar merasa tenang
dan khusyuk, perasaan yang tak pernah kami
alami sebelumnya.
Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk
ke arah kakinya dan berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher semua wali.”
Tak lama kemudian, salah seorang muridnya,
Syaikh Ali bin al-Hili, merunduk ke kaki Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Ditempelkannya kaki Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani ke lehernya, lalu kami
semua mengikutinya.
Diantara hadirin yang lainnya, yakni Syaikh Abu
Sa’id al-Kailawi berkata: “Kaki ini lebih tinggi
daripada leher wali.”
Kurasakan kebenaran Allah mewujud dalam hatiku,
aku melihat semua wali di dunia berdiri di
hadapannya, menutup seluruh penglihatanku.
Semua yang hidup hadir secara jasmani, semua
wali yang sudah meninggal hadir secara ruhani,
langit dipenuhi malaikat dan makhluk ghaib
lainnya. Sejumlah malaikat turun dan memberi
jubah Rasulullah kepadanya. Lalu kami mendengar
suara berkata:
“Hai penguasa zaman dan pembimbing agama,
wahai pengamal firman Allah Yang Maha
Pengasih, wahai pewaris kitab suci, penerus
Rasulullah, wahai orang yang diserahkan
kepadanya kekuatan langit dan bumi, yang doanya
dikabulkan, jika ia meminta hujan hujan akan
turun, wahai yang dicintai dan dimuliakan seluruh
makhluk.”
Usai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan
ucapannya itu, bukan hanya orang-orang yang ada
di hadapan beliau, melainkan semua ulama
merasakan bertambahnya ilmu mereka,
kebijaksanaan mereka, cahaya Ilahi dalam hati
mereka, dan tingkatan ruhani mereka.
Ketika kejadian ini tersiar luas di seluruh dunia
Islam, semua syaikh dan guru bersujud untuk
menghormati dan menerima kepemimpinannya.
Orang-orang yang berbuat dosa datang kepada
beliau untuk bertaubat dan disucikan kembali.
Para bajingan, pencuri dan penjahat datang
kepada beliau lalu menjadi pengikut beliau. Dan
beliau menjadi pusat kutub ruhani.
313 wali pada zaman itu, termasuk diantaranya 17
orang yang tinggal di kota suci Makkah, 60 di Irak,
40 di Iran, 20 di Mesir, 30 di Damaskus, 11 di
Abissinia, 7 di Ceylon, 27 di barat, 47 di daerah
terpencil di gunung Qaf, 7 di kawasan Ya’juj dan
Ma’juj, dan 24 di belahan dunia lainnya hingga di
lautan. Semuanya patuh dan tunduk, kecuali satu
orang Persia.
Syaikh Persia Kuwalat karena Kesombongannya
kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Persia ini dikenal sangat tekun beribadah.
Ia mendirikan shalat lebih banyak dari siapapun
dan terus-terusan berpuasa. Ia sering beribadah
haji ke Makkah. Ia sangat mendambakan ridha
Allah. Selama lima puluh tahun ia mengasingkan
diri bersama empat ratus orang muridnya, yang
dilatih siang dan malam untuk menyempurnakan
diri. Ia banyak memiliki ilmu dan karamah.
Ketika ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
sampai kepadanya. Ia tengah menunaikan ibadah
haji bersama murid-muridnya, di kota suci
Makkah. Entah meremehkan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani atau mengagungkan dirinya sendiri, ia
menolak menghormati dan memuliakan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani.
Malam harinya, ia bermimpi meninggalkan Makkah
menuju Bizantium dan di sana ia menyembah
berhala. Karena sedih mendapatkan mimpi itu, ia
kumpulkan semua murid-muridnya dan
mengatakan ia harus pergi ke Bizantium untuk
menyingkap makna mimpinya. Mereka
mengikutinya dengan setia.
Ketika memasuki kota itu, ia melihat seorang gadis
cantik berdiri di balkon. Rambut gadis itu hitam
sepekat malam, matanya laksana dua purnama
dengan alis mata tebal melengkung bagaikan
bulan sabit kembar, parasnya memikat para
pecinta, bibirnya merah delima tampak basah dan
lembut. Melihat gadis itu, hati ia terbakar birahi.
Lekat-lekat ia menatapnya, hasratnya membara
meruapi rongga dadanya. Karena cintanya kepada
gadis itu, agama dan iman tersingkir dari hatinya.
Kecantikan gadis itu benar-benar menjadi pemuas
nafsu iblis.
Ia berdiri di depan pintu gadis kafir itu dengan
mulut terbuka seraya menatap lekat-lekat ke arah
balkon, berharap dapat melihatnya lagi. Pikirannya
terkoyak. Puasa yang dilakoni bertahun-tahun dan
menguruskan badannya tak dapat membandingkan
derita yang dialami kini, begitu pikirnya. Ia
kerahkan segenap pengetahuan dan akalnya untuk
memahami keadaan ini, namun semua
pengetahuan telah sirna meninggalkan dirinya.
Dengan rasa takut segan, murid-muridnya
memohon kepadanya untuk pergi bertaubat dan
berdoa. Ia menjawab bahwa sekira ia harus
bertaubat, ia akan bertaubat dari kebodohan telah
menyisihkan dunia dan kesenangan hanya karena
agama. Jika diharuskan berdoa, ia akan memohon
kepada gadis itu daripada kepada Allah.
Ketika diperingatkan akan adzab Allah dan neraka,
ia bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang
dicintainya dan api cinta dalam hatinya dapat
memadamkan tujuh neraka. Mereka berusaha
keras membujuk ia. Namun, melihat upaya mereka
sia-sia, mereka pun meninggalkannya.
Syaikh itu diam sebulan suntuk di depan pintu
pelacur kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak
tangga sebagai bantalnya. Ia tidur di jalanan
bersama anjing-anjing kudisan.
Akhirnya, si cantik kafir itu membukakan pintu dan
berkata: “Hai orang tua yang mengaku syaikh
muslim, kau telah dimabuk kemusyrikan yang
membuatmu melakukan kebodohan ini di jalan
kafir.”
Ia berkata: “Akan kuserahkan bukan hanya
agamaku, melainkan juga jiwaku asal aku dapat
menyentuh bibirmu.”
“Sungguh memalukan, kau orang tua budak nafsu.
Betapa beraninya kau menciumku sementara kau
sudah nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak sudi
aku menyentuhmu.”
Tanpa memperdulikan caci maki gadis itu, ia tetap
berdiam di depan pintu. Lalu, gadis itu turun lagi
dan berkata kepadanya: “Jika kau sungguh-
sungguh mencintaiku, kau harus keluar dari Islam,
membakar al-Quran, menyembah berhala dan
minum arak.”
Ia berkata: “Aku tak dapat sepenuhnya
meninggalkan Islam dan membakar al-Quran,
tetapi aku bersedia minum arak demi
kecantikanmu.”
“Kalau begitu, mari minum bersamaku, pasti kau
akan mau melakukan permintaanku yang lainnya.”
Ketika gadis itu menuangkan arak, hati dan
pikirannya menyala-nyala. Ia mencoba mengingat
al-Quran yang pernah dihafalnya, kitab-kitab yang
pernah dibaca, namun tak ada sedikit pun yang
diingatnhya . Dalam keadaan mabuk ia berusaha
menyentuh gadis itu. Namun, gadis itu
menampiknya: “Tidak, kecuali jika kau menjadi
orang kafir sepertiku dan membakar kitab sucimu.”
Ia turuti permintaan pelacur itu. Dilemparkannya
al-Quran dan jubah sufinya ke dalam api, lalu ia
menyembah berhala. Sekali lagi ia berupaya
menyentuh gadis itu. Namun, sekali lagi gadis itu
menolaknnya: “Sungguh kau tua bangka budak
nafsu yang tak tahu diri. Kau sama sekali tak
punya harta, bukan pula orang yang tenar.
Bagaimana mungkin gadis sepertiku mau melayani
pengenis jorok sepertimu? Aku butuh , emas,
perak dan sutera. Karena kau tak punya apa-apa
enyah saja kau dari hadapanku!”
Waktu terus berlalu, ia masih saja berdiri di depan
pintu rumah gadis itu. Akhirnya, suatu hari, gadis
itu menyerahkan dirinya sambil berkata: “Bayarlah
aku, hai orang tua yang malang, dengan menjadi
penggembala babi-babiku selama satu tahun.”
Tanpa daya, ia pun menjadi penggembala babi.
Wanita Kafir yang Mereguk Manisnya Iman di Akhir
Hayatnya
Berita sedih mengenai syaikh yang tidak
menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun
tersebar luas. Murid-muridnya yang meninggalkan
dirinya telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha
menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Usai menceritakan keadaan guru mereka, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Jika seseorang
tidak tunduk dan menjadi seekor kambing bagi
seorang penggembala, ia akan menjadi
penggembala sekumpulan babi. Ketahuilah, setiap
orang memiliki seribu babi, yakni seribu berhala di
hatinya, yang hanya dapat diusir dengan
ketundukan dan pertaubatan.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga memarahi
mereka karena meninggalkan guru mereka.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berdoa
bagi orang tua yang sesat itu dan meminta para
muridnya untuk kembali ke Bizantium dan
memberitahu guru mereka bahwa Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani memintanya untuk kembali.
Murid-muridnya langsung pergi ke Bizantium.
Sepanjang jalan mereka selalu berdoa bagi guru
mereka. Mereka berpuasa dan berdoa memohon
kepada Allah untuk memberikan pahala mereka
untuk guru mereka. Mereka bershalawat kepada
Rasulullah Saw. dan meminta syafaatnya.
Anak panah doa itu melesat mencapai sasaran.
Ketika bertemu dengan orang tua itu, mereka
melihatnya bercahaya di tengah kumpulan babi.
Dan ketika diberitahukan Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani memintanya menghadap, segera ia
campakkan pakaian kekafiran. Air mata
penyesalan mengalir deras, dan ia angkat tangan
ke langit untuk bersyukur. Seketika itu juga semua
yang telah dilupakannya, al-Quran dan rahasia
Ilahi, kembali kepadanya. Kini ia terbebas dari
kehinaan dan kebodohan, setelah itu ia mandi
berwudhu dan berangkat ke Baghdad.
Ketika peristiwa itu berlangsung, gadis kafir itu
bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan
mendengar suara berkata: “Ikutilah syaikhmu. Anut
agamanya, jadilah debu di kakinya. Kau yang
pernah kotor, jadilah sesuci dia. Kau yang telah
menariknya ke jalanmu, kini masuklah ke
jalannya.”
Ketika bangkit dari tidur, ia rasakan perubahan
pada dirinya, ia berlari menyusul syaikh dan
murid-muridnya. Tanpa makan dan minum,
melewati lembah dan pegunungan. Akhirnya, di
tengah-tengah padang sahara , ia jatuh ke tanah,
ia berdoa: “Wahai Dzat yang telah menciptakan
aku, ampuni aku, jangan hukum aku. Aku telah
menantang agama dan jalanMu. Namun kulakukan
itu karena kebodohanku, sebagaimana syaikhku
melakukannya karena kesombongan. Kau telah
mengampuninya. Kini ampunilah aku. Aku tunduk
dan menerima agama yang benar.”
Allah memungkinkan syaikh , yang memang belum
terlalu jauh, mendengar ucapannya sehingga ia
dan murid-muridnya segera kembali dan
mendapatinya tengah berbaring. Wanita itu
berkata: “Kau telah membuatku malu. Ajari aku
Islam agar aku dapat bertemu dengan Tuhanku
melalui agama ini.”
Ketika syaikh menjadi saksi atas keimanannya dan
para muridnya menangis haru, wanita itu
hembuskan nafas terakhirnya. Wanita itu, yang tak
lebih dari setetes air di samudera khayal, telah
berpulang ke samudera sejati. Syaikh itu pun
datang ke Baghdad lalu menundukkan lehernya
dengan penuh hormat di bawah kaki Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Seiring dengan semakin meluasnya pengaruh
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke seluruh dunia,
banyak murid beliau meraih kedudukan penting,
dan banyak penguasa menjadi muridnya. Ia
menugaskan sebagian muridnya untuk menjadi
wakilnya sesuai dengan kemampuan, kualitas
batin dan tingkatan ruhaninya masing-masing.
Sebagian mereka diangkat sebagai guru ruhani
dan sebagian lainnya menjadi hakim. Bahkan,
tidak sedikit yang diangkat sebagai gubernur dan
raja.
Dikisahkan bahwa ada seorang fakir yang telah
mengabdi sebagai pembantu di rumah Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani selama empat puluh tahun.
Selama itu, ia telah menyaksikan beberapa murid
yang jauh lebih muda darinya dan belum lama
mengabdi, telah ditunjuk Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani untuk menempati jabatan penting. Suatu
hari ia menghadap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
dan mengajukan permohonan. Ia telah mengabdi
kepada syaikh selama bertahun-tahun dan kini
usianya semakin tua. Mengapa ia belum juga
ditunjuk untuk menempati pos penting seperti
murid yang lain.
Belum lagi ia tuntas menyampaikan maksudnya,
satu utusan dari India datang. Mereka ingin Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani menunjuk seorang maharaja
bagi kerajaan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani menatap pembantunya itu dan berkata:
“Apakah engkau menyukai jabatan ini? Apakah
engkau memenuhi syarat?” Pelayan itu
mengangguk kegirangan.
Ketika para utusan itu keluar rumah, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani berkata kepada pembantunya:
“Aku akan mengangkatmu sebagai raja di sana
dengan syarat kau harus berjanji untuk
memberikan kepadaku separuh dari keuntungan
dan kekayaan yang kau peroleh selama berkuasa.”
Tentu saja pelayan itu menyanggupinya.
Orang tua itu bekerja di rumah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani sebagai juru masak. Hari itu, ia harus
mengaduk hidangan yang akan disajikan. Setelah
berbicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, ia
kembali ke dapur untuk mengaduk makanan itu di
sebuah kuali raksasa dengan sendok kayu. Di
tengah pekerjaan itu ia dipanggil untuk pergi
bersama para utusan itu ke India sebagai raja
mereka.
Di negeri itu, ia dinobatkan sebagai raja. Ia
dapatkan kekayaan berlimpah, ia bangun banyak
istana untuk dirinya sendiri, ia menikah dan punya
seorang anak laki-laki. Ia sepenuhnya telah
melupakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan janji
yang diucapkannya.
Pada suatu hari, ia menerima pesan bahwa Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani akan datang
mengunjunginya. Ia bersiap-siap menyambut
kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Setelah
upacara, prosesi dan pesta yang megah, mereka
berbincang berdua. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengingatkan kesepakatan mereka, yaitu bahwa ia
harus memberikan separuh dari semua keuntungan
yang dikumpulkannya selama berkuasa. Maharaja
itu jengkel ketika diingatkan akan janjinya. Kendati
demikian, ia berjanji esok lusa ia akan
menyerahkan separuh dari semua kekayaannya
kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Keserakahan yang bertambah seiring
bertambahnya kekayaan tak membiarkannya
membuat daftar kekayaan dengan jujur. Tepat
pada hari yang direncanakan, ia membawa daftar
kekayaanya itu yang menyerahkan kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Meski daftar itu
mencantumkan banyak istana dan kekayaan,
semua itu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan
yang sesungguhnya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampak puas dengan
bagian yang diperolehnya. Lalu Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani berkata: “Kudengar kau juga
memiliki seorang anak laki-laki.”
“Iya, sayangnya cuma seorang. Sekiranya ada
dua, tentu akan kuberikan salah seorangnya
kepadamu.”
“Tidak apa-apa, bawalah anak itu.” Tukas Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. “Kita tetap dapat
membaginya.”
Anak itu dibawa di hadapan mereka. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menghunus pedangnya yang tajam
tepat di atas bagian tengah kepala anak itu. “Kau
akan mendapatkan separuhnya dan separuhnya
lagi menjadi bagianku!” kata Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani.
Sang ayah yang ketakutan, menghunus belatinya
dan kedua tangannya ditusukkan ke dada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani. Ia lakukan itu dengan mata
terpejam. Ketika membuka matanya, ternyata ia
sedang mengaduk makanan di kuali besar dengan
sendok kayu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menatapnya dan berkata: “Seperti kau lihat
sendiri, kau belum siap menjadi wakilku. Kau
belum memberikan segalanya, termasuk dirimu,
kepadaku.”
Sepenuh Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Diperuntukkan kepada Allah dan RasulNya
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah menyerahkan
dirinya kepada Allah. Malam beliau lalui dengan
sedikit atau bahkan tak tidur sama sekali untuk
Tahajjud dan tafakur. Sebagai pengikut setia
Rasulullah Saw., beliau gunakan waktu siangnya
untuk mengabdikan diri kepada umat manusia.
Tiga kali dalam seminggu beliau berceramah di
hadapan ribuan orang.
Setiap pagi dan sore beliau mengajar tafsir,
hadits, tauhid, fiqih dan tasawuf. Usai shalat
Dzuhur, beliau mengisi waktu dengan memberi
nasehat kepada umat, baik pengemis maupun
raja, yang datang dari belahan dunia. Sebelum
Maghrib baik ketika hujan maupun cerah, beliau
telusuri jalan-jalan untuk membagikan roti kepada
kaum fakir.
Karena berpuasa nyaris sepanjang tahun, beliau
hanya makan sekali dalam sehari setelah shalat
Maghrib dan tak pernah sendirian. Para pelayan
beliau berdiri di depan pintu seraya bertanya
kepada setiap orang yang lewat apakah mereka
lapar dan meminta mereka untuk makan bersama
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Kewafatan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada hari
Sabtu tanggal 8 Rabiu’ts Tsani tahun 562 H/1166
M. Makam beliau yang dirahmati, yang terletak di
Madrasah Bab ad-Darajah di Baghdad telah
menjadi tempat ziarah penting bagi kaum
Muslimin, dan khususnya kaum sufi.
Ketika beliau sakit, putra beliau, Abdul Aziz
melihatnya meringis menahan sakit yang luar
biasa. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bergulingan di
atas tempat tidur. “Jangan cemaskan aku.” Kata
beliau kepada putranya. “Aku telah tengah
berubah terus menerus dalam pengetahuan Allah.”
Ketika putra beliau, Abdul jabbar, menanyakan
bagian mana tubuhnya yang teras sakit, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Semuanya,
kecuali hatiku. Tak ada sakit sedikitpun pada
bagian ini karena ia bersama Allah.”
Putra beliau yang lain, Abdul Wahab, berkata
kepada beliau: “Berilah aku nasehat terakhir yang
dapat kuamalkan setelah ayah wafat.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Takutlah
hanya kepada Allah. Berharaplah kepada Allah,
dan sampaikan segala kebutuhanmu kepadaNya.
Jangan berharap atau menghendaki sesuatupun
dari selain Allah. Bertawakallah hanya kepada
Allah, bersatulah denganNya, bersatulah
denganNya.”
Sebelum wafat, beliau memandangi sekeliling dan
berkata kepada orang-orang yang hadir: “Mereka
yang tak pernah kalian lihat telah datang
kepadaku. Berikan ruang dan bersikap santunlah
kepada mereka. Aku adalah isi tanpa kulit. Kalian
melihatku bersama kalian, padahal aku bersama
yang lain. Tinggalkan aku sendiri.”
Kemudian beliau berkata: “Wahai malaikat maut,
aku tak takut kepadamu atau apapun selain Allah
yang telah menemaniku dan bersikap baik
kepadaku.”
Pada detik-detik terakhir, beliau angkat tangannya
dan berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Segala puji
bagi Allah, Yang Maha Suci, Maha Hidup. Segala
puji bagiNya, Yang Maha Kuasa, yang
mengalahkan hambaNya dengan kematian.”
Setelah menyeru: “Allah, Allah, Allah,” ruh beliau
pun pergi meninggalkan jasad beliau.
Semoga Allah meridhai ruh beliau dan ruh beliau
memberi barakah kepada kita semua. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar