Laman

Kamis, 17 Juli 2014

KAROMAH ITU NYANYIAN HIBURAN DARI ALLAH


Apa yang menjadi dasar dari ajaran tasawuf itu?
Seluruh kandungan al-Qur’an adalah dasar tasawuf itu sendiri. Hanya saja tidak disebut secara tekstual atau eksplisit. Imam Malik pernah berkata, “Man tashowwafa walam yatafaqqoh faqod tazandaqo. Waman tafaqqoha walam yatashowwuf faqod tafassaqo.” Artinya, “Siapa yang bertasawuf tapi tidak bersyari’at, itu zindiq. Siapa yang bersyari’at tapi tidak bertasawuf, itu fasiq.”
Jadi, kalau ada yang pro dan kontra mengenai tasawuf, apa yang perlu diperdebatkan? Sedangkan instisari dari ajaran tasawuf adalah ittiba’ rasul – mengikuti jejak nabi. Wahyu pertama turun yang berbunyi Iqra’ itu tentang tasawuf, tentang thariqat.
Ketika Jibril menyampaikan dan meminta nabi untuk Iqra’ (bacalah), nabi hanya diam dan masih bingung karena tak bisa membaca. Tapi saat Jibril meneruskan membaca ayat dengan Iqra’ bismirabbika (Bacalah dengan nama Tuhanmu), pada saat itulah bunyi zikir dengan lafadz Allah gemuruh dalam tubuh nabi hingga gemetar. Sebab, secara lahir batin, pori-porinya semua berzikir. Itu semua ajaran thariqat.
Apakah dalam bertasawuf, kita harus masuk dalam sebuah thariqat tertentu?
Islam itu ilmunya namanya syari’at atau fiqh. Iman itu ilmunya namanya aqidah atau tauhid. Ihsan itu ilmunya namanya tasawuf. Pelaksanaan amaliyahnya namanya thariqat. Sedangkan dalam thariqat ada dzikir thariqat yang bersambung sanadnya sampai Rasulullah Saw, dari Allah Rabbul ‘Izzah.
Jika kita ingin mendalami ilmunya saja, tanpa berthariqat ibarat kita belajar ilmu pertanian tanpa pernah menanam pohonnya. Padahal kita butuh buahnya. Buah dari pohon itulah hakikat dan kema’arifatan kita.
Apa ada perbedaan tentang kema’rifatan dari sisi syari’at dan tasawuf?
Ma’rifat secara syari’at itu adalah ilmunya. Ma’rifat secara tasawuf adalah mempraktekkan. Kita mengenal bahwa Allah itu Maha Esa. Lantas, kalau sudah kenal, kita mau ngapain? Bentuk amaliahnya dengan thariqat menuju ma’rifat itu, bagaimana kita mewujudkan aksentuasi online kita dengan keesaan Allah. Itulah yang digali oleh para sufi.
Dalam ilmu tasawuf, ada istilah shalat syari’at, hakikat dan ma’rifat. Bisa dijelaskan?
Jangan salah paham dengan istilah itu. Istilah-istilah tersebut hanya sekadar klasifikasi muatan rohani saja dalam tinjauan ilmiah. Artinya, jika sebuah amaliyah seorang hamba bergerak, maka secara ilmiah akan muncul seperti itu.
Namun banyak orang menyalahpahami. Jika sudah sampai shalat ma’rifat, tidak lagi perlu shalat syari’at. Ini salah besar dan sesat. Kesesatan yang dianggapnya benar. Sebab semakin seseorang itu dalam kema’rifatannya dan hakikatnya, semakin disiplin pula syari’atnya.
Lantas, bagaimana cara kita menuju kema’rifatan dari maqam syari’at?
Istilah syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat bukanlah sebuah jenjang. Keempat hal tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan organisme yang seharusnya berselaras. Maka jika salah satu elemen tersebut tak berjalan, maka jalan menuju Allah pun akan terganggu.
Apa yang harus dipersiapkan bagi seseorang yang akan memasuki gerbang pintu tasawuf?
Nawaitu (niat) menuju pada Allah dan dibimbing oleh seorang mursyid.
Apakah harus dengan bimbingan mursyid?
Karena dalam al-Qur’an dijelaskan, “faman yudllil falan tajida lahu waliyyan mursyida.” Siapa yang tersesat, dia tidak akan pernah menemukan wali yang mursyida.
Bisakah seseorang menapaki jalan Tuhan sendirian tanpa bimbingan mursyid?
Bisa saja. Tapi jika hal itu dilakukan tanpa mursyid, nanti sulit membedakan mana yang nafsu, syetan, ilham, malaikat, atau kata hati yang paling dalam. Kita ini membedakan sedang tafakur atau melamun saja sulit kok. Untuk belajar shalat saja, kita tidak bisa hanya membaca dan menirukan apa yang ada di buku-buku tuntunan shalat. Kita masih perlu bimbingan guru agama. Apalagi soal batin ini.
Lantas, bagaimana kita memilih guru tasawuf yang benar. Apakah ada ciri-ciri khusus yang melekat pada diri seorang sufi? Sebab, saat ini kan banyak yang mengaku dirinya seorang sufi…
Kalau ada orang yang mengaku dirinya sufi, berarti dirinya bukanlah seorang sufi. Sama dengan orang yang mengaku dirinya wali, jelas dia bukan wali.
Dalam bertasawuf itu kan ada empat akad: Shod, wawu, fa’ dan ya’ yang terangkum dalam Sufi. Shod, itu shofauhu (beningnya, jernihnya hati), wafauhu (dia memenuhi janjinya di hadapan Allah), fanauhu (yang ada hanya Allah), dan yaunnisbah (ya’ yang dinisbatkan hanya pada Allah).
Jadi kalimat Innii bukanlah berarti aku, tapi Allah. Sehingga keakuan kita, ego kita harus dilunturkan. Apa pun yang dilakukan oleh seorang sufi, muaranya harus kembali pada Allah. Karena ada prinsip minhu (dari-Nya), bihi (bersama-Nya), ilaihi (menuju pada-Nya), lahu (hanya bagi-Nya), dan ‘alaihi (hanya bersandar penuh kepada-Nya).
Sebagai pelaku tasawuf, tentu anda sering mendapatkan pengalaman rohani. Bisa diceritakan pengalaman seperti apa saja yang pernah anda alami?
Pengalaman rohani setiap individu akan berlainan, dan itu menjadi wadi (pamali) kalau diceritakan. Yang terpenting, orang bertasawuf dan berthariqat bukanlah untuk mencari keistimewaan, bukan mencari karomah apalagi dunia, atau juga untuk menyelesaikan masalah. Jadi, bertasawuf benar-benar hanya untuk menuju Allah.
Tapi, tak sedikit orang yang berdzikir mengalami pengalaman seperti bertemu cahaya?
Nah, di sinilah perlunya seorang mursyid yang perannya untuk mengingatkan, apakah itu jin, malaikat atau yang lainnya.
Bagaimana dengan karomah yang dimiliki para pejalan tasawuf?
Karomah, ilham atau yang lainnya itu hanyalah hiburan semata. Ibaratnya kita haus saat perjalanan. Setelah Allah memberi kita minum, kita lanjutkan lagi perjalanan, bukan malah berhenti. Jangan sampai bonus tersebut menjadi penghalang kita menuju Allah. Karomah yang sesungguhnya, adalah istiqomah. Karena itu, istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
Karomah hanyalah pintu gerbang memasuki dunia sufi. Kalau saat baru memasuki dunia pendidikan taman kanak-kanak, kan banyak hiburannya. Banyak pelajaran menyanyi. Karomah itu adalah nyanyian hiburan dari Allah saja. Begitu masuk ke jenjang yang lebih tinggi, baru masuk ke pelajaran yang serius. Jadi jangan kaget, kalau sudah tidak ada nyanyi-nyanyi lagi. Ha….ha…ha…
Apa bentuk manifestasi dari amalan ma’rifatullah dalam kehidupan sehari-hari?
Setiap orang memiliki pantulan yang berbeda-beda. Tidaklah boleh disebut kema’rifatan seseorang itu sudah final. Kalau digambarkan dengan sebuah lingkaran, barangkali puncak kema’rifatan seseorang itu masih berbentuk lingkaran yang kecil. Maka dia pun harus memperbesar lingkaran kema’rifatannya. Ini tidak ada habisnya. Sampai ke akhirat pun tak ada habisnya ma’rifat itu.
Pantulan ma’rifat itu didapat dari mana?
Nurullah – cahaya Allah. Thariqat itu seperti mempersiapkan diri untuk mengelap (membersihkan, red) kaca cermin hati setiap hari.
Jadi, semua tergantung dari amalan-amalan yang dilakukan tiap orang?
Sebenarnya, amaliyah itu hanyalah akibat. Kalau menurut syari’at, amal itu sebagai sebab. Kalau saya melakukan ini, maka saya akan mendapat sesuatu. Tapi tidak secara hakikat. Jika kita diampuni Allah, maka kita baru beristighfar. Hakikatnya begitu. Kita bisa bertobat, karena ampunan Allah ternyata lebih besar dari dosa kita. Jika tidak ada ampunan Allah, seseorang tidak akan bisa bertobat seribu kali pun, dikarenakan ampunan Allah belum turun.
Pendidikan kema’rifatan itu ibaratnya, bagaimana cara kita mengelap kaca setiap hari. Kalau kacanya sudah karatan, tentu cara membersihkannya berbeda dengan yang tidak karatan. Kalau kaca itu retak, apa yang harus dilakukan? Jika kaca sudah halus, kan tidak mungkin membersihkan pakai amplas, bisa tambah rusak. Seperti saat kita ngungkal (menajamkan) pisau. Bagaimana pisau ini tidak terlalu tajam, tapi juga tidak terlalu tumpul. Dan yang bisa melakukan itu, adalah ahli bikin pisau. Di sinilah peran seorang mursyid dibutuhkan.
Apa harus pakai wirid tertentu?
Dzikir atau wirid dalam dunia tasawuf ibarat dinamo dalam sebuah mesin. Kalau dinamonya tidak hidup, maka seluruh mekanik di situ tidak hidup. Jika hati kita tidak berdzikir, maka hati kita tidak hidup. “Hayatul qolbi bidzikrillah.” Hidupnya hati dengan berdzikir. Jadi, kita tidak bisa berma’rifat hanya dengan ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar