Laman

Kamis, 17 Juli 2014

Pembahasan Keenam -Taubat, Langkah Pertama Menuju Kesempurnaan

Hakekat Segala Rahasia Kehidupan
[ Pembahasan Keenam -Taubat, Langkah Pertama Menuju Kesempurnaan ]

Kami telah menjelaskan beberapa maqom dan ahwal ruhani. Ketahuilah. Semua maqom ini pada hakikatnya dicapai melalui taubat. Cara taubat hanya dapat diketahui dari orang yg mengetahui caranya dan ia sendiri benar-benar telah bertaubat. Taubat yg sungguh-sungguh dan ikhlas ini merupakan langkah pertama di jalan ruhani.

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa (tobat). Dan mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Fath: 26)
Maqom takwa memiliki makna yg sama dengan la ilaha illaLLAH: tak ada tuhan, tak ada sesuatu pun—selain Allah. Sebab, orang yg mengetahui hal ini akan ketakutan kehilangan Dia, kehilangan rahmat, cinta, dan kasih sayang-Nya; ia takut dan malu melakukan maksiat dan takut akan azab-Nya. Jika seseorang belum mencapai tingkatan ini, ia harus mencari orang yg benar-benar telah dianugerahi Allah rasa takut kepada-Nya.

Sumber yg melahirkan kata-kata ini harus disucikan dan dibersihkan dari segala sesuatu selain Allah. Orang yg menerimanya harus mampu membedakan antara kata-kata orang yg berhati suci dan kata-kata orang awam. Ia juga harus memahami bagaimana kata itu diucapkan, karena kata-kata yg terdengar sama mungkin saja memiliki arti yg jauh berbeda. Mustahil kata yg muncul ddari sumber yg suci akan bermakna sama dengan kata-kata yg muncul dari sumber lainnya.

Hati hanya akan hidup jika ia menerima benih tauhid yg hidup, karena benih semacam itu merupakan benih yg sehat dan hidup. Tak ada sesuatu pun yg dapat tumbuh dari benih yg kering dan mati. Kalimat la ilaha illaLLAH disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami ?” (al-Shaffat: 35-36)
Inilah tingkatan kaum awam. Bagi mereka, wujud lahir—termasuk eksistensi lahiriah mereka—adalah tuhan.

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Muhammad: 19)

Firman Allah ini menjadi petunjuk bagi kaum mukmin sejati yg takut kepada Allah.

Hadrah ‘Ali r.a meminta Rasulullah saw untuk mengajarinya jalan keselamatan yg paling mudah,paling bermakna, dan paling tepat. Rasulullah saw menunggu Jibril a.s membawa jawaban dari Allah. Akhirnya ia datang dan mengajari Rasulullah saw untuk mengucapkan : “la ilaha” seraya memalingkan wajahnya ke kanan, dan mengucapkan “illaLLAH: seraca memalingkan wajahnya ke kiri, ke arah hatinya yg suci. Ia mengulangnya tiga kali. Rasulullah saw sendiri mengulangnya sebanyak tiga kali, begitu pun ketika mengajarkannya kepada Hadrah ‘Ali r.a yg kemudian mengajarkan kalimat tauhid itu kepada para sahabatnya. Hadrah ‘Ali adalah orang pertama yg memintanya dan diajari oleh Rasulullah.

Suatu hari, sepulangnya dari perang besar, rasulullah saw bersabda kepada para pengikutnya, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yg lebih besar, “ yaitu jihad melawan nafsu dan syahwat. Itulah makna kalimat tauhid. Dalam hadis lainnya Rasulullah bersabda, “Musuh terbesar kalian berada di bawah tulang rusuk kalian.”

Cinta Ilahi takkan hidup memenuhi hatimu kecuali jia sang musuh, yakni nafsu, telah binasa dan meninggalkanmu.

Agar cinta Ilahi dapat menempati hatimu, pertama-tama kau harus menyucikan dirimu dari hawa nafsu yg menyuruh seluruh wujudmu kepada kejahatan. Setelah itu kau akan memiliki kesadaran meskipun tidak sepenuhnya bersih dari dosa. Kau akan memiliki rasa bersalah. Namun perasaan itu tidak cukup. Kau harus melewati tangga itu menuju maqom penyingkapan hakikat, baik hakikat kebaikan maupun keburukan. Setelah itu, kau akan berhenti melakukan maksiat untuk hanya melakukan kebaikan. Dengan demikian, kau telah menyucikan dirimu. Untuk melawan nafsu, perangilah lebih dahulu nafsu hewanimu—sifat rakus, tidur yg berlebihan, kelalaian—dan perangilah sifat hewan buas dalam dirimu: sifat buruk, amarah, keras dan kejam. Lalu jauhkanlah dirimu dari kebiasaan jahat hawa nafsu: bersifat angkuh, sombong, iri, dendam, tamak dan semua penyakit lahir maupun batin. Dengan menempuh langkah-langkah itu berarti kau telah melakukan pertaubatan yg sebenarnya dan telah menyucikan dirimu.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tawwab—bertaubat-- dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222)
Dalam ayat ini disebutkan “tawwab” (orang yg benar-benar bertaubat), bukan “ta’ib” (orang yg bertaubat). Sebab, begitu banyak orang yg bertobat namun tobat mereka tidak diterima. Seberapa sering mereka bertobat, mereka tidaklah sungguh2 bertobat, dan tobat mereka tidak diterima. Penegasan ini mengacu kepada perilaku banyak orang yg sekadar mengungkapkan penyesalan tanpa menyadari kesalahan mereka, dan tidak memiliki tekad yg kuat untuk tidak melakukan dosa lagi, atau bahkan ia tetap saja tenggelam dalam lumpur dosa. Mereka laksana orang yg ingin menghilangkan rumput dengan memotong rumputnya, bukan memotong akarnya cara itu hanya semakin menyuburkan rumput. Orang yg bertobat seraya menyadari kesalahan nya dan penyebabnya adalah seperti orang yg mencabut rumput itu hingga ke akar-akarnya. Alat yg digunakan untuk mencabut rumput itu adalah ajaran ruhani yg diterimanya dari guru sejati. Seseorang harus membersihkan tanah sebelum menanami ladang.

“Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr: 21)

“kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqan:70)

Ketahuilah, salah satu tanda diterimanya tobat adalah ketika seseorang tidak lagi melakukan dosa yg sama sepanjang hidupnya.

Tobat terbagi ke dalam dua macam, yaitu tobat orang awam dan tobat mukmin yg ikhlas. Orang awam berharap meninggalkan kejahatan menuju ketaatan dengan cara mengingat Alalh serta berusaha keras meninggalkan hawa nafsu dan menakhlukkan hasrat. Ia harus melawan nafsu yg selalu memberontak terhadap ajaran2 Allah. Itulah tobat kaum awam, yg mungkin dapat menyelamatkannya dari neraka dan memasukkannya ke surga.

Tobat seorang mukmin yg ikhlas, hamba sejati Allah, jauh berbeda. Mereka telah mencapai maqom makrifat, yg jauh lebih mulia daripada keadaan terbaik seorang awam. Sebenarnya, tak ada lagi anak tangga yg bisa mereka naiki, karena mereka telah mencapai kedekatan kepada Allah. Mereka telah meninggalkan kesenangan duniawi dan tengah merasakan kelezatan alam ruhani—nikmat kedekatan dan keintiman dengan Allah, kenikmatan menatap dzat-Nya dengan mata kebahagiaan.

Pemahaman kaum awam bersifat duniawi. Kesenangan mereka terlaetak pada kenikmtan lahiriah. Sekalipun manusia—secara lahiriah—dan semesta lahiriah pada hakikatnya merupakan realitas semu yg menyesatkan, kenikmatan itu merupakan kenikmatan terbaik yg dapat mereka rasakan. Ini sesuai dengan ujaran yg menyatakan bahwa “ Keberadaanmu adalah dosa besar, begitu besarnya sehingga dosa-dosa lain menjadi kecil.” Orang bijak sering mengatakan bahwa amal baik seseorang yg tidak mencapai tingkat kedekatan kepada Allah tidaklah lebih baik daripada kesalahan orang yg dekat kepada-Nya. Karena itu, Rasulullah saw, panutan kita dan orang yg suci dari dosa, mengajari kita cara memohon ampunan atas dosa-dosa tersembunyi yg selama ini kita anggap sebagai amal saleh. Bahkan ia sendiri memohon ampunan sebanyak seratus kali dalam sehari. Allah memerintahkan Rasulullah “untuk memohon ampunan atas dosa-dosamu dan untuk orang-orang yg beriman, laki-laki maupun perempuan.” (Muhammad: 19). Ia adalah nabi yg menjadi teladan bagi kita dalam pertobatan. Ia mengajari kita untuk memohon kepada Allah agar Dia menghapuskan hawa nafsu, keegoan, dan semua sifat buruk kita. Inilah tobat sejati.

Menyesal berarti meninggalkan segala sesuatu kecuali dzat Allah, dan ingin kembali kepada-Nya, kembali kepada tanah air kedekatan kepada-Nya, serta melihat wajah-Nya. Rasulullah saw menjelaskan penyesalan semacam itu melalui sabdanya, “Ada hamba sejati Allah yg jasad mereka di sini namun hati mereka berada tepat di bawah ‘Arasy Allah.” Hati mereka berada di langit kesembilan, di bawah ‘Arasy. Itulah tingkatan terbaik yg dapat dicapai seorang hamba, karena di dunia yg hina ini mustahil seseorang dapat melihat dzat-Nya. Di dunia ini yg dapat dilihat hanyalah manifestasi sifat2 ketuhanan-Nya, yg dipantulkan pada cermin suci hai yg ikhlas. Ini sesuai dengan ucapan Sayidina ‘Umar r.a, “hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku.” Hati yg suci merpakan cermin tempat keindahan, karunia dan kesempurnaan Allah dipantulkan. Keadaan ini kadang juga disebut “wahyu”, yakni penyampaian sifat-sifat Tuhan.

Untuk mencapai tingkatan itu, serta untuk membersihkan dan menerangi hati, dibutuhkan seorang guru yg telah matang, yg telah mencapai maqam penyatuan dengan Allah, dan yg dimuliakan oleh semua orang, di masa lalu maupun sekarang. Ia telah mencapai maqam kedekatan kepada Allah dan telah diutus kembali oleh Allah ke dunia ini untuk menyempurnakan orang-orang yg berhak namun masih belum berhasil.

Untuk menjalankan tugas suci ini, para wali Allah itu harus mengikuti jalan Rasulullah saw dan meneladaninya meskipun tugas mereka berbeda dengan tugas para nabi a.s. Jika para nabi diutus untuk menyelamatkan kaum awam sekaligus kaum mukmin yg ikhlas, para wali diutus hanya kepada sekelompok orang, bukan kepada semua orang. Jika para nabi diberi kebebasan utuh mengemban tugas, para wali harus mengikuti jalan dan teladan Nabi saw.

Bahkan, jika ada seorang guru yg mengaku telah diberi kebebasan dan menganggap dirinya sama dengan seorang nabi, berarti ia kafir. Sabda Rasulullah saw bahwa para sahabatnya yg saleh laksana para nabi di kalangan Bani Israil harus dipahami secara berbeda. Ketahuilah, para nabi yg datang setelah Nabi Musa a.s semuanya mengikuti ajaran agama Nabi Musa a.s, tidak membawa ajaran baru. Mereka mengikuti hukum yg sama. Begitu pula para saleh di kalangan umat Muhammad saw. Mereka bertugas untuk mengajari manusia untuk bersikap ikhlas dan mengikuti ajaran rasulullah saw. Meskipun dengan cara dan ketentuan yg mungkin baru dan berbeda. Hukum yg diajarkan mesti mengacu pada hukum Rasulullah saw seraya menjadi teladan bagi murid-murid mereka untuk mengamalkan ajaran agama serta menunjukkan kebahagiaan dan keindahannya. Tugas utama mereka adalah membimbing para pengikut mereka untuk menyucikan hati, yg merupakan tempat untuk membangun monumen ilmu.

Dalam menjalankan tugas tersebut mereka meneladani murid-murid Rasulullah saw yg disebut Ahlu Shufah, yg telah meninggalkan kesenangan duniawi demi keridaan dan kedekatan kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka menyampaikan kabar persis seperti yg mereka terima langsung dari mulut Rasulullah saw. Saking dekatnya kepada Rasulullah saw mereka mencapai tingkatan ruhani yg tinggi sehingga dapat berbincang mengenai rahasia mikraj Nabi saw bahkan sebelum beliau mengungkapkan rahasia ini kepada para sahabatnya.

Kedekatan mereka kepada Rasulullah saw serupa dengan kedekatan Rasulullah kepada Allah Ta’ala; mereka memegang teguh dan memelihara amanat berupa ilmu Allah yg dianugerahkan kepada mereka. Mereka adalah pengemban sebagian tugas kenabian, dan batin mereka aman sentosa di bawah perlindungan langsung Rasulullah saw.

Tidak semua orang berilmu dapat mencapai tingkatan itu. Orang yg telah mencapainya lebih dekat kepada Rasulullah daripada kepada anak-anak dan istri mereka sendiri. Mereka menjadi anak-anak ruhani Rasulullah saw. Mereka adalah pewaris sejati Rasulullah saw. Putra sejati mewarisi hakikat dan rahasia ayahnya, baik dalam wujud lahir maupun wujud batinnya. Rasulullah saw menyebutkan rahasia ini sebagai “..ilmu khusus laksana harta tersembunyi yg hanya dapat ditemukan oleh orang yg mengenal dzat Allah. Tetapi, ketika rahasia itu diungkapkan, orang yg sadar dan ikhlas tak ada yg mengingkarinya.”

Ilmu itu diberikan kepada Rasulullah pada malam Isra’ dan Mikraj. Rahasia itu tersembunyi pada dirinya di balik 30 tabir. Ia tidak membukanya kecuali kepada para murid yg paling dekat kepadanya. Islam akan kokoh hingga hari kiamat berkat keberkahan dan rahmat rahasia ini.

Seseorang dapat mencapai rahasia tersebut dengan pengetahuan batin mengenai apa yg tersembunyi. Berbagai macam ilmu lainnya, begitu pula seni dan ketrampilan duniawi hanyalah bungkus bagi ilmu batin itu. Meski demikian, orang yg menguasai ilmu-ilmu “bungkus” itu boleh berharap bahwa suatu hari ia akan mendapatkan isinya. Sebagian mereka hanya mengetahui apa yg wajib dimiliki manusia dan sebagian lainnya hanya mengetahui apa yg dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Kendati demikian, ada juga di antara mereka menyeru manusia kepada Allah dengna nasihat yg baik. Dari kelompok tersebut itu ada yg mengikuti jalan nabi Muhammad saw dan dibimbing memasuki pintu ilmu, yaitu Hadrah ‘Ali r.a—pintu bagi orang-orang yg diundang oleh Allah Ta’ala:
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yg baik dan bantahlah mereka dengan cara yg baik.” (al-Nahl: 125)

Ada kesamaan antara ucapan dan maksud batin mereka. Perbedaan hanya terjadi pada hal-hal kecil dan cara pengungkapannya.

Sebenarnya ada tiga makna yg dapat ditarik dari ayat tersebut, yg juga merupakan tiga cara pencapaian ilmu—yg diamalkan secara berbeda, namun semuanya menyatu dalam hadits Rasulullah saw. Ilmu dibagi ke dalam tiga bagian, sebab tak seorang pun yg dapat mengemban, apalagi mengamalkan seluruh isi ilmu itu. Bagian pertama terkandng pada penggalan ayat: “serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah.” Bagian ini berhubungan dengan makrifat, hakikat, dan awal segala sesuatu. Pemiliknya harus mengikuti teladan Rasulullah saw, mengamalkan ilmunya. Bagian ini diberikan kepada orang yg jujur dan berani, pejuang ruhani yg akan membela kedudukannya dan berjihad (bersungguh) menjaga ilmu itu. Rasulullah saw menjelaskan keadaan kelompok ini dalam sabdanya: “Usaha sungguh-sungguh yg dilakukan orang jujur dapat mengguncangkan gunung.” Kata “gunung” dalam hadits itu berarti beratnya hati sebagian orang. Doa mereka akan dikabulkan. Apa pun yg mereka inginkan, akan terjadi; jika mereka menghendaki musnahnya sesuatu, ia akan musnah.
“Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yg dikehendaki-Nya. Dan barang siapa dikaruniai hikmah maka dia telah dikaruniai kebaikan yg banyak.” (al-Baqarah: 269)

Bagian kedua adalah ilmu lahir yg disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai “dakwah yg baik”. Inilah bungkus makrifat. Orang yg menguasainya menyerukan kebaikan, mengajarkan amal baik, dan menjauhkan manusia dari segala larangan Allah. Orang yg berilmu akan menyeru dengan baik dan santun, sedangkan orang bodoh mengajar dengan kasar dan amarah.

Bagian ketiga adalah berkaitan dengan penataan urusan duniawi manusia. Itulah kulit ilmu agama, yakni bungkus makrifat. Bagian ini diperuntukkan bagi orang2 yg mengatur urusan manusia: keadilan manusia atas manusia serta pemerintahan manusia atas manusia. Bagian akhir ayat itu menjelaskan tugas mereka: “…dan bantahlah mereka dengan cara yg baik.” Orang yg termasuk kelompok ini merupakan manifestasi sifat Allah al-Qahhar, Yang Mahaperkasa. Tugas mereka adalah memelihara ketertiban di tengah manusia sesuai dengan Hukum Allah. Ilmu bagian ketiga ini melindungi ilm lahir, seperti bungkus melindungi kulit. Ilmu lahir, yg merupakan kulit, melindungi isinya, yaitu ilmu batin—hakikat ilmu dan benih sumber kehidupan.

Rasulullah saw memberi nasihat, “Seiring-seringlah menyertai orang bijak dan taatilah pemimpinmu yg adil. Allah menghidupkan hati yg mati dengan ilmu sebagaimana Dia menghidupkan tanah yg mati dengan tumbuhan melalui hujan yg diturunkan-Nya.” Ia juga bersabda, “Ilmu adalah harta yg hilang bagi orang beriman. Ia kan mengambilnya di mana saja ia temukan.”

Bahkan kata-kata kaum awam turun dari Lauh Mahfuzh, Kitab Takdir yg meliputi semua kejadian sejak awal permulaan hingga akhir. Lauh itu dijaga di alam akal kausal. Namun, kata-kata diucapkan sesuai dengan derajat seseorang. Kata-kata yg telah mencapai tingkatan hakikat bersumber langsung dari alam tinggi itu, alam kedekatan dengan Allah, tanpa perantara.

Ketahuilah, semua kehendak kembali kepada sumbernya. Hati, sang hakikat, harus dibangkitkan, dihidupkan, untuk menemukan jalan kembali kepada sumber Ilahinya. Ia harus mendengarkan seruan. Setiap orang harus menemukan seseorang yg menyampaikan seruan itu kepadanya. Dialah guru sejati. Ini merupakan fardu ‘ain, kewajiban individual, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim, laki-lai maupun perempuan.” Ilmu itu adalah tingkatan ilmu yg tertinggi, makrifat, yg akan membawa seseorang menuju sumbernya, yaitu hakikat. Ilmu lainnya hanya diperlukan sesuai dengan kegunannya. Misalnya, untuk kepentingan nafsu, manusia memerlukan ilmu duniawi. Alalh meridhai orang yg meninggalkan hasrat duniawi, karena semua kenikmatan dunia merupakan perintang dalam perjalanan seseorang menuju Allah.

“Katakanlah, “Aku tidak meminta sesuatu pun kepadamu atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (Al-Syura: 23)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar