Laman

Kamis, 17 Juli 2014

Pembahasan Ketujuh - Sufi, Para Pejalan di Jalan Tuhan

Hakekat Segala Rahasia Kehidupan
[ Pembahasan Ketujuh - Sufi, Para Pejalan di Jalan Tuhan ]

Dalam kitab berjudul al-Majma’ dikatakan, “Kaum sufi adalah mereka yg bersikap sederhana dalam pakaian dan pandangan hidup.” Mungkin saja mereka tampak tertarik oleh kehidupan dunia, namun pengetahuan mereka diwujudkan dalam perilaku yg sopan dan santun sehingga orang-orang lain tertarik kepada mereka. Sesungguhnya mereka merupakan teladan bagi manusia. Mereka mengikuti ajaran-ajaran Allah. Dalam pandangan Tuhan, mreka berada di garis tedepan manusia; dalam pandangan para salik, terlepas dari penampialan lahiriah, mereka adalah orang-orang yg menawan hati. Mereka memiliki ciri yg sangat khas, karena mereka telah mencapai tingkatan tauhid yg sesungguhnya.

Dalam bahasa arab, kata tashawwuf, terdiri atas 4 huruf t, sh, w dan f. huruf pertama, t, adalah singkatan dari tawwab, tobat. Inilah langkah pertama yg harus ditempuh di jalan ruhani, yg meliputi langkah lahir dan langkah batin. Langkah lahir ditempuh dengan perkataan, perbuatan, dan perasaan. Secara lahiriah, orang yg bertobat harus memelihara hidupnya dari dosa dan maksiat serta condong kepada ketaatan; ia harus membebaskan diri dari penyimpangan dan kekafiran, seraya mencari keridhaan dan keselarasan. Langkah batin tobat ditempuh oleh hati. Langkah ini ditempuh dengan menyucikan hati dari segala noda dan salah. Langkah ini bersumber dari perlawanan terhadap hasrat duniawi dan keteguhan dalam kesucian. Tobat—yg merupakan kesadaran atas dosa dan kemestian meninggalkannya, juga merupakan kesadaran atas kebaikan dan tekad untuk mengamalkannya—akan membawa seseorang kepada tingkatan kedua.

Tingkatan kedua adalah keadaan tenang dan bahagia, shafa. Tingkatan ini pun meliputi dua langkah, yakni langkah menuju kesucian hati, dan langkah menuju inti hakikatnya.

Ketentraman datang dari hati yg bebas dari kecemasan. Keemasan disebabkan oleh kesenangan kepada dunia—makanan, minuman, tidur, dan cengkerama. Semua ini, seperti daya tarik bumi, menurunkan eter hati. Tentu saja, membebaskan diri dari tarikan duniawi merupakan langkah yg sangat berat karena ada ikatan lain yg membelenggu eter hati ke bumi, termasuk hasrat, kekayaan, juga cinta istri dan anak-anak.

Cara membebaskan dan menyucikan hati adalah mengingat Allah (berdzikir). Pada awlanya, dzikir dilakukan secara lisan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang, melafalkannya dengan keras sehingga kau dan orang lain mendengar dan mengingat-Nya. Ketika ingatan kepada-Nya telah mantap, dzikir berlangsung dalam hati dan mnjadi bagian batin; yg tertinggal hanya keheningan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (al-Anfal: 2)
Gemetar berarti kagum, takut, dan cinta kepada Allah. Dengan berdzikir dan menyebut nama Allah, hati terjaga dari kelalaian, dibersihkan, dan diterangi. Dengan begitu, bentuk dan rupa rahasia alam gaib akan terpantul padanya. Rasulullah saw bersabda, “Para ulama secara lahir mengunjungi dan memeriksa segala sesuatu dengan pikiran mereka, sedangkan kaum bijak secara batin sibuk membersihkan dan menerangi hati mereka.”

Inti hati akan meraih ketentraman jika telah disucikan dari segala sesuatu dan disiapkan untuk hanya menerima dzat Alalh, yg akan memasukinya jika ia telah dihiasinya oleh cinta Ilahi. Inti hati dapat dibersihkan dengan dzikir batin dan terus-terusan melafalkan kalimat tauhid “la ilaha illallah” dengan lidah hakikat. Ketika hati dan intinya berada dalam keadaan tenteram dan bahagia maka tingkatan kedua, yg disimbilkan oleh huruf sh menjadi sempurna.

Huruf ketiga, w, adalah singkatan dari wilayah, yakni tingkatan kewalian para pecinta dan kekasih Allah. Tingkatan ini bergantung pada kesucian batin. Dalam kitab suci Al-Qur’an disebutkan bahwa para wali Allah itu “tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati;” dan bahwa “bagi mereka berita gembira di kehidupan dunia dan akhirat.” (Yunus: 62 dan 64)

Orang yg telah mencapai maqam kewalian sepenuhnya mencintai dan terhubung kepada Allah. Buah keadaan ini adalah perilaku yg sopan dan kepribadian yg hangat. Inilah karunia Ilahi yg dianugerahkan kepadanya. Rasulullah saw bersabda, “Perhatikanlah akhlak Allah dan berperilakulah sesuai dengannya.” Pada tingkatan ini, seseorang telah menghapuskan sifat-sifat duniawinya yg fana dan menyatu dengan sifat-sifat Ilahi. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman:
“Jika Aku mencintai hamba-Ku, Aku menjadi mata-nya, telingannya, tangannya, dan kakinya. Dia melihat melalui Aku, dia mendengar melalui Aku, dia berbicara melalui Aku, tangannya menjadi tangan-Ku, dan dia berjalan bersama Aku.”

Sucikan hatimu dari segala sesuatu dan ingatlah hanya kepada Allah, sebab: “Katakanlah olehmu, telah datang kebenaran dan telah binasa kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu binasa.” (al-Isra: 81)
Ketika kebenaran datang dan kebatilan binasa, tingkatan wilayah menjadi sempurna.

Huruf keempat, f, merupakan singkatan dari kata fana’, peniadaan diri. Diri yg batil dan keakuan luruh musnah ketika sifat-sifat Ilahi memasuki jiwa seseorang. Keakuan digantikan oleh keesaan.
Pada hakikatnya, kebenaran akan selalu ada; tak pernah hilang atau pun surut. Pemusnahan yg dimaksudkan di sini adalah bahwa seorang mukmin menyadari dan menyatu dengan dzat yg telah menciptakannya. Ketika berada bersama-Nya, ia menerima keridaan-Nya: wujud manusia yg fana’ menemukan eksistensinya dengan menyadari hakikat yg kekal. “Segala sesuatu musnah kecuali dzat-Nya…” (al-Qashash: 88)

Hakikat-Nya dikenali melalui keridhaan-Nya. Jika kau melakukan sesuatu karna Dia dan diridai-Nya, berarti kau telah mendekati hakikat-Nya, dzat-Nya. Setelah itu, semuanya musnah kecuali Yang Esa; Dia menyatu dengan orang yg diridai-Nya. Amal saleh adalah ibu yg melahirkan hakikat, yaitu jiwa sejati yg kembali. Allah berfirman, “Kepada-Nya naik perkataan yg baik dan amal yg saleh dinaikkannya. “ (Fathir: 10)

Jika seseorang berbuat karena segala sesuatu selain Allah, berarti telah menyekutukan Allah. Sebab ia telah menempatkan seseorang atau yg lainnya di tepat Allah. Menyekutukan Dia adalah dosa yg tak terampuni yg lambat laun akan membinasakan dirinya. Namun jika diri dan keakuan sirna, ia akan mencapai tingkat kebersatuan dengan Allah, yg dicapai di alam kedekatan kepada-Nya; alam yg dijelaskan oleh Allah dalam firman-nya:
“Sesungguhnya orang yg bertakwa itu … ditempat yg disenangi, di sisi Tuhan Yang Mahakuaasa.” (al-Qamar: 54-55)

Alam itu adalah alam hakikat sejati; hakikat segala hakikat; tempat keesaan dan ketunggalan. Itulah alam yg disediakan untuk para nabi, orang yg dicintai Allah, dan para kekasih-Nya. Allah bersama orang-orang yg benar. Ketika eksistensi ciptaan menyatu dengan eksistensi yg kekal, eksistensi keduanya menjadi tak terpisahkan. Ketika seseorang telah melepaskan dirinya dari semua ikatan duniawi untuk berada-bersama Allah, niscaya ia akan menerima kesucian yg kekal, yg tak pernah ternodai, dan “menjadi salah seorang penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. “ (al-A’raf: 42) . mereka adalah “orang yg beriman dan mengerjakan amal saleh” (al-A’raf: 42). Namun, “Kami tidak memikulkan kewajiban kepada seorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya.” (al-A’raf: 42).

Untuk bisa mencapai tingkatan penyatuan seperti itu, dibutuhkan kesabaran dan ketabahan, karena “Allah bersama orang-orang yg sabar.” (al-Anfal: 66)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar