Laman

Selasa, 26 April 2016

Shalat Syariat dan Shalat Tariqat


Mengenai shalat, sebagaimana telah diketahui yaitu di dalam Al-Quran:
“Hendaklah kamu menjaga shalat-shalatmu dan shalat wustha (yang di tengah)” (Al-Baqarah: 238).
Yang dimaksud dengan shalat syariat ialah shalat seluruh badan yang zahir dengan gerakan tubuh, seperti: badan berdiri, lidah membaca, ruku’, sujud, duduk, mengeluarkan suara dan bacaan-bacaan. Oleh karena itu di dalam Al-Quran disebut shalawat (beberapa shalat).
Adapun shalat tariqat adalah shalatnya hati selama-lamanya, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran “Shalat Wustha”, yaitu shalat hati, karena hati berada di tengah badan; antara kanan dan kiri; antara atas dan bawah; antara bahagia dan celaka.
Rasul bersabda:
“Sesungguhnya hati manusia ada di antara dua jari-jari Allah. Allah membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya”.
Yang dimaksud dengan dua jari Allah ialah dua sifat Allah, yaitu: 1. Memaksa; 2. Pengasih. Dari ayat dan Hadits ini diketahui bahwa shalat yang pokok adalah shalat hati. Bila shalat hati dilupakan, maka rusaklah shalatnya; dan bila rusak shalatnya, rusak pula shalat seluruh badannya. Sabda Rasul: “Tidaklah sah shalat seseorang kecuali disertai dengan hadirnya hati”. Sesungguhnya orang yang shalat itu sedang bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya. Alat untuk munajat adalah hati. Bila hati lupa maka batallah shalatnya dan shalat badannya, karena hati sebagai pokok utama dan anggota badan yang lain mengikutinya.
Rasul bersabda:
“Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Bila ia baik, sekujur badan akan ikut baik dan bila ia buruk, sekujur badan pun menjadi buruk. Itulah hati”.
Shalat syariat mempunyai waktu tertentu di dalam satu hari satu malam lima kali. Sunatnya shalat syariat dilakukan di masjid dengan berjamaah sama-sama menghadap Ka’bah dan mengikuti Imam, tanpa riya’ dan sum’ah.
Shalat tariqat dilakukan selamanya tanpa batas waktu selama hidup di dunia dan akhirat. Masjidnya adalah hati. Berjamaahnya ialah terpadunya kesucian batin dengan selalu memperdengarkan tauhid dengan lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di dalam hati untuk sampai kepada Allah. Kiblatnya ialah Hadirat Allah Yang Maha Tunggal dan Keindahan Ketuhanan. Itulah kiblat yang hakiki. Hati dan ruh selamanya tidak terlepas dari shalat ini.
Hati tidak pernah tidur dan tidak akan mati, tetapi ia selalu punya kegiatan di saat tidur maupun terjaga. Shalat hati dilakukan dengan hidupnya hati tanpa suara, berdiri dan duduk; ia selalu berhadapan dengan Allah dan senantiasa siaga dengan ucapan: “Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan, dan mengikuti Nabi Muhammad s.a.w. karena begitulah keadaan Nabi.
Di dalam Tafsir Al-Qadhi disebutkan bahwa ayat ini merupakan isyarat tentang hati seseorang yang sudah ma’rifat kepada Allah, yang telah berpindah dari keadaan ghaib (memandang Allah ghaib) beralih kepada hadrat Ahadiyat (selalu merasa bersama Allah). Sesuai dengan sabda Rasul dalam Haditsnya: “Para Nabi dan para wali selalu shalat, walau terlah berpindah alam (wafat), seperti halnya mereka shalat di rumahnya”, yakni mereka selalu bermunajat dengan Allah karena hatinya yang sudah hidup.
Bila dua shalat telah berpadu (shalat syariat dan shalat tariqat) lahir dan batin, maka sempurnalah shalat itu dan pahalanya pun sangat besar. Qurbah (dekat dengan Allah) diraih oleh shalat ruhaniyahnya dan darajat (surga) diraih oleh shalat badannya, maka orang yang melakukan shalat seperti ini berarti ia lahiriyahnya ahli ibadah, dan batinnya Arif Billah (yang ma’rifat kepada Allah). Dan bila shalat tak berpadu antara shalat syariat dan shalat tariqat dengan hati yang hidup, maka shalatnya shalat yang kurang dan pahalanya pun hanya mendapatkan darajat, tidak mendapat Qurbah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar