Laman

Selasa, 26 April 2016

Sum’ah


Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain[1]. Perbedaan antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu: riya’ adalah memperlihatkan amal dan perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan perbuatannya (sudah dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya duniawi). Perbedaan riya’dan sum’ah ialah: Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga[2]. Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya[3].

DEFINISI SUM’AH SECARA TERMINOLOGI
Pengertian sum’ah secara istilah adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya, yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi kepada orang lain, supaya dirinya mendapatkan kedudukan, penghargaan, atau mengharapkan keuntungan materi. Syeikh Ahmad Rifa’I dalam kitabnya Ri’ayah Himmah, Juz 2 menjelaskan:
لَا تَظْهَرِ الْفَضْلَةَ كَا لْعِلْمِ وَالطَّاعَةِ
“Janganlah kalian menunjukkan keutamaan (kepandaianmu), seperti ilmu dan ketaatan karena banyak melaksanakan amal sholih kepada orang lain supaya mereka memuliakanmu”.
Dalam makalahnya, beliau menjelaskan bahwa adakalanya kita menunjukkan ketaatan kita pada orang lain, tetapi dalam hal-hal tertentu, seperti[4]:
وَأَمَّا إِظْهَارُهَا لِيُقْتَدَى بِهِ وَلِيَرْ غَبَ النَّاسَ فِى الْخَيْرِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ إِسْرَارِهَا اِنْ أَمَنَ شَوَائِبُ الرِّياَءِ
“Adapun menunjukkan ketaatan kita kepada orang lain dengan tujuan supaya orang meniru perbuatan kita (mengajak kepada kebaikan), itu lebih baik (tidak berdosa) daripada kita menyembunyikannya, tetapi jika dalam hati kita merasa hebat maka akan menjadi riya’(sombong)”.
أَمَّا عَلىَ الْإِعْتِرَافِ بِالنِّعْمَةِ فَحَسَنْ
“Dan sekiranya kita memperlihatkan kemuliaan kita (nikmat), sebagai pertanda rasa syukur pada-Nya maka lebih bagus dan tidak termasuk ke dalam perkara ‘ujub, karena kemuliaan yang kita dapatkan adalah anugerah Allah[5]”.

Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhan-Mu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”.(Q.S. Dhuha: 11).

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Riya’ adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah (lihat: Definisi Riya’ Dan Penjelasannya), sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun kemudian ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Dengan demikian, dalam pandangannya bahwa semua riya’ tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, namun jadi tercela jika dia bicarakan amalnya di hadapan manusia[6].

Dalam Al-Qur’an Allah telah mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’ ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذَى كَالَّذِىْ يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ …
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264).
Di dunia ini, ada banyak hamba pilihan yang di takdirkan oleh Allah sebagai golongan orang-orang yang luhur budi pekertinya, bagus dalam bertutur kata dan dijauhkan dari sifat riya’ dan sum’ah, salah satu diantaranya adalah nabi Muhammad SAW yang dijelaskan dalam salah satu hadisnya:
قَالَ النَّبِيُّ إِنَّا أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ لَا فَخْرَ لَنَا
Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah yang paling mulia diantara nabi-nabi yang terdahulu ataupun yang terakhir, dan tidak berdosa (takabbur) bagiku, karena Allah SWT telah memberikan jaminan sebagai seorang utusan untuk mengajak kepada jalan kebenaran”.
Hadis diatas jangan kita fahami secara etimologi, karena nanti akan timbul penafsiran bahwa rasul SAW menyuruh untuk berbuat riya’ dan sum’ah, tetapi mafhum mukhalafah dari makna tersiratnya adalah karena keluhuran budi pekerti beliau jadi secara otomatis dalam hatinya sudah tidak ada penyakit-penyakit hati (madzmumah).
Kita sebagai umatnya, tidak menutup kemungkinan bisa sampai dalam tahap kesempurnaan (di jauhkan dari sifat-sifat madzmumah: penyakit hati), sebagaimana di jelaskan para ulama:
قَالَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ تَحَلَّى ظَاهِرَهُ بِحَلِيِّ الشَّرِيْعَةِ وَيَغْسِلُ بَاطِنَهُ بِمِيَاهُ الطَّرِيْقَةُ فَقَدْ حَصَلَ بِالْحَقِيْقَةِ
“Barangsiapa yang secara lahirnya (tingkah laku dan perbuatan) memakai perhiasan syari’at (menebarkan pesona kebaikan), kemudian membasuh kotoran batinnya dengan air tarikat (hanya kepada Allah ia memohon), maka ia telah sampai kepada tahap kesempurnaan (meyakini bahwa hakikatnya segala sesuatu yang ia lakukan mengharap keridhoan-Nya saja)”.
Keserasian antara syari’at dengan hakikat harus saling berkaitan dan meyakini bahwa segala anugerah berasal dari Allah SWT, digambarkan ibarat tempat (wadah;bejana) kosong yang hilang isinya, demikian juga sebaliknya perannya hakikat tanpa syari’at maka akan rusak dan hilang manfaatnya:
فَالشَّرِيْعَةُ بِلاَ حَقِيْقَةٍ عَاطِلَهْ وَالْحَقِيْقَةُ بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَهْ
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RIYA DAN SUM’AH.
1. Latar Belakang Kehidupan.
Jika seorang anak yang tumbuh dalam asuhan sebuah keluarga yang memiliki suasana atau adat perilaku riya’ dan sum’ah, maka sangat besar kemungkinan dirinya akan dapat terpengaruhi perilaku semacam itu. Jika penyakit itu telah bercokol dan lama berurat akar dan mengkristal dalam jiwa, maka akan sangat sulit untuk mengikisnya. Karena itu, rasulullah selalu menekankan pentingnya faktor agama sebagai landasan utama dalam memilih calon pasangan hidup kita.
2. Persahabatan yang Buruk.
Persahabatan yang buruk hanya akan mengakibatkan sikap riya dan sum’ah, terutama bagi orang yang lemah pribadi dan mentalnya dan mudah terpengaruhi orang lain, dengan mengikuti dan meniru teman-temannya, lama kelamaan berakar umbi dalam jiwanya. Syeikh Ibrahim Bin Sulaiman dalam syarah Ta’lim al-Muta’allim[7] menjelaskan:
عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَأَبْصِرْ قَرِيْنَهُ فَإِنَّ الْقَرِيْنَ بِالْمُقَارَنِ يَقْتَدِىْ
إِذَاكَانَ ذَا شَرٍّ فَجَنِّبْهُ سُرْعَةً وَإِنْ كَانَ ذَا خَيْرٍ فَقَارِنْهُ تَهْتَدِىْ
“Jangan Tanya seorang tanyakan yang menemani, karena seseungguhnya kawan ikut yang menemani. Jikalau kamu punya kawan buruk (sifatnya) cepat jauhi, dan jika kamu punya kawan baik(perilaku) cepat dekati”.
Sehubungan dengan hal ini, sebagai muslim, kita dituntut agar selektif dalam menjalin persahabatan dengan mereka yang baik, menghormati, dan menjalankan syariah Allah.
3. Tidak Memiliki Hakikat Ma’rifah kepada Allah.
Karena tidak mengenal Allah secara hakiki maka dapat menimbulkan sikap riya’ dan sum’ah, sebab orang yang jahil tidak mampu bersikap yang benar terhadap Allah. Karena itu, berkembanglah dalam pikirannya bahwa ada sebagian manusia yang mampu menolak bahaya dan memberi manfaat. Ia bersikap riya dan sum’ah dalam setiap amalnya dihadapan sekelompok manusia dan yang menurutnya berkuasa dalam menentukan nasib mereka. Islam selalu menegaskan pentingnya mengenal Allah sebagai langkah pertama yang harus ditempuh sebelum melakukan segala sesuatu.
Firman-Nya:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah.” (QS.Muhammad : 19)
Sifat ini lahir karena dalam dirinya merasa paling hebat dan suci, maka Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam surat Al-Najm ayat 32:
فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ
“……, Maka Janganlah kamu menganggap dirimu suci,….”
Penafsiran ayat diatas diartikan seperti yang diuraikan oleh Syeikh Ahmad Rifa’i:
أَىْ لاَ تَمْدِحُوْهَا عَلىَ سَبِيْلِ الْإِعْجَابْ
“Jangan memuji karena merasa lebih dari segalanya ( yang mengarah kepada perasaan ‘ujub)”
4. Ambisi Memperoleh Kedudukan dan Kemimpinan.
Inilah salah satu diantara faktor yang dapat memotivasi timbulnya sikap riya’ dan sum’ah. Islam menekankan untuk menyeleksi dan menguji seseorang sebelum ia dilimpahi suatu kepercayaan atau dukungan.
Sebagaimana Firman-Nya:
وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah[8] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. an-Nisaa’ : 6)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang hijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.” (QS. al-Mumtahanah:10)
5. Tamak Terhadap yang Dimiliki Orang Lain.
Sikap rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain serta ambisi terhadap harta duniawi dapat menyebabkan riya atau sum’ah. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Musa bahwa pada suatu hari rasul SAW ditanya, “Ya Rasulullah, ada seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang ingin posisinya dilihat oleh manusia, yang manakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?” Rasul SAW bersabda:
“Barangsiapa berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dialah yang berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang pergi berperang kemudian ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali memperoleh tali kendali, maka baginya apa yang ia niatkan.” (HR. Nasa’i dan Darimi).
6. Lalai Terhadap Dampak Buruk Riya dan Sum’ah.
Ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh riya dan sum’ah dapat menjerumuskan seseorang kepada riya atau sum’ah. Imam Bukhori dalam shahihnya dalam bab Ar- Riya’ was Sum’ah dengan membawakan hadits Rasulullah SAW:“Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (dihadapan manusia pada hari kiamat kelak)”.[9]
Dengan demikian, semoga kita di jauhkan dari sifat sum’ah dan menjadi insan yang mampu mengamalkan isyarah qur’an surah Fusshilat ayat 34:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّنْ دَعَا إِلىَ اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ إِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata: “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)”.
Shollallahu ‘Ala Muhammad Wa Aalihi
Ibnu Dahlan El-Madary
Sumedang, Pondok Pesantren Ulum Al-Qur’an Al-Mustofa,
25 Jumadil Ula 1433H/17 April 2012: 14:00PM
[1] Syeikh Ahmad Rifa’i, Riayah Akhir, Bab Tasawuf, Juz 2, Korasan 23 halaman 2 baris 3
[2] Dr. Sulaiman al-Asyqor, Al Ikhlas, halaman: 95
[3] Kitab lisanul arab, 8/165
[4] Op.Cit,____________________________, halaman 3 baris 4-5
[5] Ibid,____________________________, halaman 5 baris 1
[6] Fathul Bari, Jilid 11 halaman 336
[7] Syeikh Ibrahim Bin Ismail, Syarah Ta’lim al-Muta’allim, al-haramain, halaman 15
[8] Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercaya.
[9] Hadits Riwayat Bukhori Juz 7, halaman :189 dan Hadits Muslim nomer: 2987.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar