Laman

Sabtu, 08 Februari 2014

Hakikat Dzikir


Zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. "Man arafallaha kalla lisanuhu", siapa mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan, kelu lidahnya. (hadis).

Mulut kita berucap "Laa ilaaha illallah". Dari mana munculnya perkataan ini? Dari hati. "Laa ilaaha illalah" yang dari hati ini dari mana asalnya? Dari syir hati. Yang dari syir hati ini dari mana? Tentulah dari dalam syir. Yang di dalam syir itu siapa? Rahasia Allah.

Jadi kalau kita cermati, siapa yang sebenarnya berzikir itu?
Syariatnya => kita berzikir
Hakikatnya => kita menzikirkan Yang Punya Nama
Makrifatnya => Yang Punya Zikir Berzikir

Kalau belum tahu bahwa yang di dalam syir ini berzikir, bagaimana Anda akan karam dalam zikir? Paling-paling Anda hanya dapat karam dalam sebutan zikir saja. Kalau Anda dapat yang di dalam syir itu berzikir, tentu berjalanlah Anda dengan yang di dalam syir itu kepada Allah. Inilah amal yang sampai ke Tuhan. Jadi, tidak akan mudah untuk karam di dalam syir kalau kita tidak mendapati yang di dalam syir itu berzikir.

Takrif Zikir [Tujuan]
Kalau kita hendak berzikir, perlu dulu tentang takrif zikir atau tujuan zikir. Yang dikatakan tarikat itu jalan. Jalan menuju ke mana? Tentulah menuju kepada yang dimaksud. Yang dimaksud itulah tujuan zikir, yaitu Allah.
Kalau mulut berzikir menyebut laa ilaaha illallah, yang di dalam syir itulah yang kekal kepada Alah. Karena munajatnya orang yang berzikir itu Ilaa Ilahu Anta maksudi wa makrifataka bi a'tinii mahabbata wa makrifataka, 'tidak ada yang kumaksud hanya Engkau ya Allah'.

Kalau sudah Allah yang kita maksud, untuk apa terpengaruh dengan yang terpandang-pandang dalam zikir. Kalau terpengaruh dengan yang terpandang-pandang ketika berzikir, berarti kita sudah menyimpang dari maksud semula karena mestinya munajat kita hanya pada Allah. Allah itu sudah pasti laysa kamitslihi syaiun. Apa pun yang terpandang-pandang itu bukan laysa kamitslihi syaiun. Biar surga sekali pun yang dipandangkan, itu tetap bukan yang laysa kamitlsihi syaiun. Orang yang tidak bermaksud kepada selain Allah tidak akan terpengaruh dengan itu.

Jadi dalam beramal ibadah apa saja, takrif (tujuan) itulah yang kita pegang. Bukan zikirnya yang kita pegang, takrifnya itu yang kita pegang.

Kalau sudah pada Allah saja takrif zikir, mestinya tidak mungkin ada orang berzikir sampai histeris, mabuk, atau bahkan pingsan karena Allah tidak bersifat zalim. Jangan sampai kamu banyak berzikir lalu malah timbul kelainan jiwa.

Munajat
Munajat itulah niat ikhlas orang yang berzikir. Tidak ada maksud kepada selain Allah. Kalau tidak paham tentang munajat dan takrif zikir, bisa-bisa dimabukkan oleh zikir. Asyik kepada yang bukan dimaksud semula. Kalau hal yang bukan Allah sudah masuk ke badan, inilah yang jadi penyakit.

Musyahadah
Zikir itu untuk mendapatkan musyahadah. Musyahadah untuk mendapat fana. Fana fillah itu untuk mendapatkan baqa billah. Kalau sudah baqa billah, mana ada fana lagi karena fana itu awal baqa.

Kalau sudah dapat baqa, mana ada fana lagi. Kalau sudah dapat fana, mana ada musyahadah lagi. Kalau sudah dapat musyahadah, mana ada zikir lagi? Inilah yang disampaikan di awal tulisan ini. Bahwa zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu.

Sebetulnya jalan yang sampai kepada Allah itu ada empat, yaitu

Syariat ← kenyataan yang di-ada-kan Allah. Berlaku pada anggota zahir, yaitu berupa perintah (amar)
dan larangan (nahi);

Tarikat ← jalan yang menyempurnakan syariat. Berlaku pada hati. Contoh praktiknya: mulut berkata "merah". Hati harus yakin bahwa barang yang disebut itu benar-benar merah. Inilah disebut menyempurnakan syariat.

Hakikat ← keyakinan kita kepada yang wajib dipercaya. Hanya satu, yaitu Allah. Berlaku pada syir hati (nyawa).

Makrifat ← pengenalan yang sempurna tentang Allah. Bagaimana pengenalan yang sempurna pada Allah itu? Yaitu semua yang terpandang, terpikir, terasa, tersentuh, tercium, dan lain-lain itu bukan Allah. Karena orang yang sempurna mengenal Allah itu keyakinannya tetap. Bahwa Allah itu laysa kamitslihi syaiun.

Syariatnya, kita berzikir.
Makrifatnya, Rahasia Allah itulah yang berzikir atau yang di dalam syir itulah yang berzikir.
Perkataan ini bukan hendak menjadikan kita adalah Allah atau setara dengan Alah, melainkan kita meyakinkan Zat Allah itulah Diri Allah, bukan kita adalah Allah.

Kesimpulan kata: Zat Allah itulah yang memuji Tuhannya.

Kalau kita sudah dapat jalan pengetahuan ini, dapatlah kita jalan musyahadah, muraqabah, dan jalan ahlul kasyaf.

Jalan musyahadah itu hanya kita mengetahui. Amalannya bukan pakai baca-baca lagi karena amalan batin itu pakai pandangan mata hati (syuhud matahati)

Jalan muraqabah itu adalah pandangan mata hati tidak lepas dari takrif. Seperti kucing yang mengintai tikus. Fokus tidak berpaling dari target.

Jalan ahlul kasyaf. Ini tidak cukup dengan paham saja, melainkan harus dengan bimbingan khusus. Seperti kita membimbing bayi sampai dia baligh.

Contoh praktik ahlul kasyaf:
Kita melihat tulisan. Sebenarnya yang kita lihat kertas putih, tetapi yang tampak tulisannya. Justru karena melihat kertas putih itulah kita bisa melihat tulisan. Coba andai kertas putih itu terbuka, masuklah ke kertas putih itu. Akan tampak semua tulisan. Ini baru mukadimah soal kasyaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar